Catatan Malaria

Leave a comment
Papua

Malam senin awal minggu pertama bulan Mei, belum lama setelah membaca sebuah novel yang seorang tokohnya kena Malaria tetiba tubuh saya rasanya agak sedikit menggigil. Saya sudahi dulu membaca Burung Kayu karya Niduparas Erlang dan beranjak tidur sambil agak menggigil.

Malam berikutnya, tubuh makin terasa menggigil dan muncul rasa nyeri di lutut kiri. Di masa pandemi seperti ini, mengalami gejala seperti itu langsung menimbulkan tanya. Dan karena di Papua, pertanyaanya kemudian jadi; ini Covid atau Malaria? Atau Flu Tulang seperti yang dulu pernah mampir di tubuhku. 

Besok paginya, situasinya semakin jelas. Saya masih bisa mencium dan merasakan aroma kopi dan roti bakar, masih bisa bernafas dengan baik. Setelah selesai sarapan, tetiba muncul rasa pahit di mulut, perut terasa mual, lalu muntah. Setelah muntah agak mendingan rasanya tapi tidak lama kemudian tubuh kembali menggigil. Sepertinya ini malaria, deh. Supaya lebih pasti, saya memeriksakan diri ke Rumah Sakit Mitra Masyarakat (RSMM), Timika. 

Setelah mendaftarkan diri, saya mulai diperiksa. Berat badan 72 Kg, tekanan darah lupa berapa tapi normal menurut Ibu Suster. Kata Bu Suster lagi, jantung berdenyut agak kencang karena suhu tubuh tinggi, 38ºC. 

Di masa awal Covid melanda Timika di bulan Maret 2020, saya sempat tidak diperbolehkan masuk sebuah bank di Timika karena suhu tubuh saya tercatat 37,5 ºC di mesin pemeriksa suhu tubuh. Saya agak melawan waktu itu. Kalau suhu segitu saya tidak bisa jalan santai begini, coba cek lagi kah, pintaku kepada petugasnya. Ternyata benar, Cuma 36 ºC. Kali ini saya merasakan sendiri bagaimana beraktivitas dengan suhu tubuh tinggi. Agak melayang di suasana ambang batas, antara panas dan dingin, pusing dan ringan, keruwetan dan keindahan hidup. 

Setelah diberi paracetamol untuk menurunkan suhu tubuh, saya diminta untuk tes darah. Tidak lama kemudian hasilnya keluar, Malaria Tropika plus dua. Sirbeh! 

Di loket obat, ketika saya menerima empat buah pil warna biru yang harus diminum sekaligus setiap harinya selama tiga hari, seorang anak kecil di sebelahku tertawa kecil mendengarnya. Aku tersenyum balik kepadanya sambil berbisik, banyak juga ee, lalu berjalan pergi membawa semua obat2an yang diberikan. Belum lama saya berjalan, anak itu menowel dan menyorongkan botol minumku yang ternyata ketinggalan di loket obat. 

Sekarang, lima hari kemudian, semua obat itu sudah habis saya konsumsi. Tadi siang dalam perjalanan ke Timika untuk membeli beberapa barang, masih tersisa sedikit pusing dan demam, badan masih belum sepenuhnya bugar. Tapi sudah tidak sepayah dua hari sebelumnya, ketika demam, mual, pusing, datang silih berganti. 

Semangat makan juga sudah mulai membaik. Lima hari sebelumnya, saya hanya mampu makan beberapa sendok nasi. Beberapa teman yang pernah kena malaria malah tidak bisa makan sama sekali ketika Malaria datang di tubuh mereka. Tapi ada juga yang malah nafsu makan meningkat hingga berat badannya naik setelah sembuh dari Malaria. 

Penyakit aneh memang Malaria ini. Dia seperti bisa mendengar kita. Ketika saya sudah merasa sembuh pada hari ketujuh, tetiba kepala jadi pusing saat menata ulang buku di rak buku. 

Hari kesembilan, hari Senin, 10 Mei 2021, saya sudah merasa sehat dan kuat. Porsi makan sudah kembali ke porsi sebelum sakit. Masih ada sedikit pusing tapi saya merasa bisa beraktivitas di kantor. Hingga kemudian pada hari kedua Lebaran, 14 Mei 2021, usai berkunjung ke rumah seorang teman, demam kembali melanda di malam hari, berkeringat, dan susah tidur. Bahkan di dalam mimpi saya merasa lelah sekali dan ingin tidur. 

Keesokan pagi, setelah sarapan, saya muntah lagi. Terasa nyeri di siku kanan. Saya memutuskan untuk kembali ke RSMM untuk memeriksakan diri. Sampel darah kembali diambil. Sebagai antisipasi, saya juga meminta untuk tes antigen. 

Hasilnya, tekanan darah 130/80. Normal. Tes antigen negatif. Sampel darah menunjukkan tidak ada malaria lagi. Lalu apa? Dokter Theresia menjelaskan, saya jatuh sakit lagi karena leukosit di tubuh saya meningkat melebihi ambang batas normal. Hal itu terjadi karena ada infeksi dan normal bagi orang yang baru sembuh dari Malaria. Saya semakin salut dengan teman – teman Papua yang sekalipun Malaria tapi masih bisa beraktivitas. Sekalipun kemudian seringkali saya dengar ambruk juga ketika di rumah. 

Beberapa teman dengan bangga menyebutkan sampai sudah bosan kena Malaria. Kalau belum kena Malaria, belum jadi orang Papua, adalah sebuah ungkapan yang sering saya dengar. Ungkapan yang getir.

Menurut sebuah artikel di situsweb Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, sekalipun tren Malaria menurun, masih ada tiga provinsi di Indonesia yang “belum mencapai eliminasi Malaria”, yakni, Papua, Papua Barat, dan Nusa Tenggara Timur. 

Saya jadi bisa membayangkan perkataan Nagabonar, yang sepertinya tidak mendapatkan perawatan Malaria, ketika ditanya apakah masih Malaria atau tidak oleh Maryam. Nagabonar menjawab dengan ringan, datangnya seperti kereta Medan Tebing Tinggi, kalau lewat dia (Malaria), bergoyang rumah. Tanpa pengobatan, Malaria bisa bercokol di tubuh kita cukup lama. 

Saya kembali menerima obat, tapi bukan obat Malaria lagi. Pemulihannya memakan waktu kurang lebih tujuh hari, ketika Omeprazole terakhir sudah habis saya minum. Dua hari kemudian, saya dijadwalkan mengikuti vaksinasi Covid. Beberapa teman menyarankan saya untuk tidak divaksin karena baru sembuh dari Malaria. Tapi saya putuskan untuk berkonsultasi dengan dokter di saat screening sebelum vaksinasi. 

Setelah saya ceritakan riwayat sakit Malaria saya, Pak dokter dari Puskesmas Timika Jaya yang saya lupa namanya itu mengatakan bahwa saya bisa menerima vaksin Covid. “Jangankan yang baru sembuh, yang masih dalam pengobatan Malaria dan TBC saja ada yang menerima vaksin Covid,” imbuhnya. Baiklah, maka kemudian Sinovac mulai mengalir di dalam tubuh saya. 

Saya jadi membayangkan, semoga setelah usaha keras vaksinasi Covid di Indonesia ini, ada usaha juga untuk memberikan vaksin Malaria bagi orang Papua, Papua Barat dan Nusa Tenggara Timur.

The Author

Sementara ini tinggal di Timika, Papua

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s