Setiap tanggal 10 November, saya selalu ingat perjumpaan dengan keluarga Hoogendijk dari Belanda. Oma Thera Andre dan kedua anaknya datang ke Surabaya untuk bernostalgia, mengenang masa ketika keluarga Oma tinggal di Surabaya. Saat itu, mereka menginap di Hotel Mojopahit, hotel bersejarah di Surabaya yang didirikan keluarga Armenia dan tempat Utik bekerja. Utik lah yang kemudian menjadi penerjemah bagi keluarga Oma selama mereka jalan2 di Surabaya.
Sebelum Perang Dunia II berkecamuk di Hindia Belanda pada tahun 1942, keluarga Oma tinggal di sebuah rumah di Jl. Gubeng. Oma masih ingat sekali tempat2 yang biasa dia kunjungi di Surabaya.
Suatu ketika, Peter, anak Oma yang juga videografer, mewawancarai saya tentang peristiwa 10 November. Tentu saja saya jawab dengan penuh semangat bahwa itu adalah hari pahlawan bagi bangsa Indonesia. Hari di mana seluruh arek suroboyo merobek bendera belanda di Hotel Oranye (Mojopahit sekarang namanya) dan dengan gagah berani melawan serdadu2 Inggris dan NICA. Peter hanya mengangguk2 saja.
Saya lupa tepatnya, tapi sepertinya ketika makan es krim di Zangrandi, gerai es krim tertua di Surabaya yang bertempat di depan kompleks Balai Pemuda sekarang. Di situlah kalau tidak salah Oma menceritakan bahwa Balai Pemuda itu adalah tempat banyak keluarga Belanda dan Indo disekap dan dibakar hidup2 oleh pemuda2 Surabaya. Saya tentu kaget sekali. Apa iya seperti itu? Kan itu hari pahlawan? Tidak mungkin pejuang2 kita berperilaku seperti itu. Saya simpan pertanyaan2 itu, karena saat itu saya tidak bisa langsung membuka handphone dan meng-googling kebenaran kejadian tersebut.
Saya baru menemukannya di buku Revoloesi Pemoeda karya Ben Anderson. Situasi menjelang 10 November 1945 di Surabaya sangatlah kacau. Sekalipun kemerdekaan sudah diproklamasikan beberapa bulan sebelumnya, struktur sebuah negara masih belum terbentuk dengan baik. Yang ada adalah Presiden, Wakil Presiden, Komite Nasional Indonesia Pusat, serta Komite Nasional Indonesia di setiap provinsi. Tentara nasional? Kama. Tidak ada. Peta dan Heiho sudah dibubarkan Jepang secara tergesa2 pada 17 Agustus 1945.
Kejadian yang bisa dibilang pemanasan menjelang 10 November 1945 adalah pada 21 Agustus 1945 saat para buruh di penyulingan minyak membentuk organisasi mereka yang kemudian berujung pada pembentukan organisasi Angkatan Muda pimpinan Sumarsono dan Ruslan Widjaja (yang memiliki kedekatan dengan Amir Sjarifudin). Organisasi ini berkembang sangat cepat hingga kemudian mampu menggalang rapat raksasa di Lapangan Tambaksari. Bahkan berani menantang larangan Kenpeitai (polisi rahasia Jepang) untuk melangsungkan rapat dan demonstrasi dan melakukannya di lapangan Pasar Turi. Tanpa organisasi bentukan buruh minyak itu, besar kemungkinan peristiwa 10 November 1945 akan terjadi.
Ketika Inggris mendarat di Surabaya, di bawah pimpinan seorang kolonel Belanda (untuk menerima penyerahan dari Jepang), apalagi ketika kesepakatan Mallaby dengan pimpinan2 KNIP di Surabaya dianulir atasan Mallaby, keadaan jadi makin kacau. Semua yang dianggap sebagai personifikasi Belanda disikat. Gedung2 pemerintahan dan rumah2 orang Belanda diduduki, manusianya dibunuh. Bukan hanya Belanda2 yang baru saja keluar dari kamp2 interniran Jepang yang kemudian ditampung di Jl. Darmo, tapi juga orang2 Indo, China, dan yang dianggap kaki tangan Belanda seperti Ambon dan Manado.
Setelah Brigadir Mallaby terbunuh, sikap Inggris yang mulanya agak pro dengan Indonesia jadi berubah. Surabaya kemudian diserang dengan sekuat tenaga dan terjadilah pertempuran 10 November 1945 itu. Sebelum terjadi penggempuran oleh Inggris, Soekarno dan Hatta memilih untuk menyerahkan sikap kepada pimpinan di Surabaya, mau melawan atau tidak.
Beberapa bulan setelah keluarga Hoogendijk pulang ke Belanda, mereka mengirimkan dvd film dokumenter bikinan Peter Hoogendijk. Judulnya, Soerabaja Surabaya.
Karena dibuat dalam Bahasa Belanda dan zonder subtitle bahasa Indonesia atau Inggris, saya tidak mengerti banyak isi film itu. Tapi yang pasti sejarah itu kompleks, tidak sesimpel penggambaran diorama2 di museum2 kita apalagi di gapura2 setiap tujuhbelasan, yang biasanya dihiasi dengan sosok2 berseragam militer Jepang lengkap dengan peci. Sebuah sosok pemuda Indonesia yang sangat dibenci Sjahrir, karena hasil dari didikan militerisme/fasisme Jepang.