
Dari kejauhan nampak Selat Bali dihiasi kerlap kerlip lampu feri yang hilir mudik dari Ketapang ke Gilimanuk. Cahaya matahari masih lembut sekali. Setelah menepikan mobil di depan deretan kios yang sepertinya masih baru dibangun, aku beranjak keluar dari mobil, merenggangkan badan dan menatap kesibukan di Selat Bali di pagi hari. Aku lelah tapi lega sudah menempuh separuh perjalanan Malang – Bali dengan cepat dan selamat. Di dalam mobil, tiga anak kecil dan dua ibu muda sedang tertidur lelap.
Seorang teman pernah bilang, driving is therapeutic. Kalau bahasa sekarangnya, driving is healing. Itu benar sekali. Tapi kalau nyetir mobil dengan penumpang seperti mereka, rasanya kok ga sido therapeutic. Jadinya malah deg2an apakah bisa menjadi pengemudi yang baik dan mengantar mereka dengan selamat ke tujuan.
Untunglah kedua ibu2 itu bukan tipe penumpang yang rewel, yang suka gebrak2 dashboard mobil kalau merasa mobil ngebut atau teriak2 kalau papasan dengan bus malam yang melaju kencang. Seingatku mereka cuma sekali agak berteriak kaget ketika sebuah bus malam melaju kencang nyaris bersenggolan spion dengan mobil kami di sebuah tikungan di Alas Baluran.
Anak2 kecil itu juga. Di sepanjang perjalanan mereka lebih banyak tidur. Kecuali Mirai. Di bagian berikutnya akan aku ceritakan bagaimana Mirai adalah seorang navigator yang handal.
Terakhir kali aku menempuh perjalanan darat dari Surabaya ke Bali adalah pada tahun 1997 untuk merayakan kelulusan SMA. Aku dan ketiga temanku, Dira, Didik, dan Kembon bergantian menyetir mobil Taft GT berbahan bakar diesel. Tentu saja aku sudah lupa berapa lama waktu dan secapek apa perjalanan ketika itu. Aku kebagian menyetir dari Surabaya hingga Paiton. Lalu ketika balik ke Surabaya, aku dapat gillran menyetir dari Denpasar ke Gilimanuk. Selain itu, seingatku saat itu kami tidak sering berhenti di jalanan. Tancap gas terus. Maklum, darah muda. Wkwkw.
Berbekal pengalaman itu aku mengiyakan ajakan dua ibu2 muda, Oca dan Putri , untuk melakukan road trip Surabaya – Malang – Bali pulang pergi. Semua barang akan dikirim dengan ekspedisi ke Malang dan Surabaya. Dengan demikian, mobil Mitsubishi Expander itu akan cukup lega diisi kami bertiga dan 3 anak kecil, Mirai dan Pao anaknya Oca serta Sebas anaknya Putri.
Beberapa hari sebelum berangkat, ada perubahan rencana. Ada tambahan mobil dan Dira menawarkan diri untuk menemani karena dia sekalian mau pulang ke Surabaya dari Bali.
Persiapan kami standar saja, seperti memastikan kondisi mesin, ban dan perlengkapan seperti dongkrak. Persiapanku pribadi adalah untuk menyiapkan kondisi kesehatan dan mental. Soal kesehatan aku memastikan cukup tidur dan fit sebelum berangkat. Untuk melawan kantuk di jalan, aku membekali diri dengan kopi cold brew Gambino dan Amo Gambino. Kalau memang ngantuk bener ya aku akan memilih untuk menepi dan tidur. Soal mental, aku membagi perjalanan Surabaya – Malang – Denpasar yang total berjarak total 530 km ini ke dalam lima etape. Setiap etape aku bagi lagi jadi jarak per 25 km. Jarak normal yang aku tempuh setiap hari dari rumah ke kantor setiap hari di Timika.
Puas menatap lalu lalang feri di Selat Bali, aku kembali masuk ke mobil. Semua masih tertidur dengan lelap. Aku memasang seat belt, menyalakan mesin mobil, membacai catatan di setiap etape yang aku lalui dari Bali ke Surabaya. Catatan itu aku tulis ketika sedang berhenti atau ketika kena macet. Sambil melanjutkan perjalanan ke arah pelabuhan Ketapang menempuh jalan yang belum ramai, aku mengagumi diriku yang tidak kedinginan kena AC mobil sekalipun cuma bercelana pendek dan merasa kasihan pada kameraku yang nganggur. Rencanaku untuk foto tempat2 yang menarik sama tidak terlaksana. Aku terlalu fokus nyetir.

Denpasar – Gilimanuk
Menurut Putri, jalanan di Bali lebih sempit dibanding di Jawa. Kalau kamu melintas di malam hari, jalanan dari Denpasar ke Gilimanuk memang akan nampak sempit. Tapi kalau kamu melintas di pagi hari seperti ketika perjalananku dari Surabaya ke Bali, jalanan yang sempit itu terkompensasi dengan pemandangan indah di sepanjang jalan, terutama di daerah Jembrana dan Tabanan. Dari arah Gilimanuk begitu masuk di Kabupaten Tabanan, kamu akan dihadapkan pada pilihan antara mengikuti jalan raya yang lurus atau berbelok ke kanan memasuki sebuah jalan yang disarankan Google Maps. Aku memilih mengikuti penunjuk jalan yang mengarahkan ke arah Denpasar. Dalam perjalanan dari Denpasar ke Gilimanuk, Dira menunjukkan pengalamannya menyetir Bali – Surabaya. Dengan sat set dia mencari celah untuk menyalip di antara rangkaian truk dan bus. Aku jadi terpacu mengikuti kecepatannya yang rata2 100 km/jam itu. Dari belakang aku bisa melihat Sebas sedang berlompatan dari jok tengah ke depan.
Saat hendak menyeberang ke Pulau Jawa, pelabuhan Gilimanuk cukup padat. Mungkin karena banyak yang mudik ke arah barat menjelang libur Natal dan Tahun Baru. Kami sempat menunggu selama kurang lebih 40 menit sebelum akhirnya masuk ke perut feri. Sebaliknya ketika hendak menyeberang ke Pulau Bali, suasananya cukup sepi. Begitu tiba di Ketapang aku langsung ke loket untuk membeli tiket feri. Menurut mbak penjual tiket, setelah Natal penyeberangan jadi sepi. Ramenya adalah mulai tanggal 21 hingga 25 Desember. Setelah memarkirkan mobil di dalam feri yang cuma terisi separuhnya itu, aku sempat tidur selama 45 menit selama penyeberangan dari Ketapang ke Gilimanuk. Beda dengan ketika tiba di Ketapang, begitu tiba di Gilimanuk akan ada pemeriksaan KTP seluruh penumpang mobil yang dewasa. Di Ketapang, setelah keluar dari feri kami langsung melaju ke luar pelabuhan.
Ketapang – Situbondo
Keluar dari pelabuhan Ketapang, kaki sebelah kanan agak kram rasanya. Aku biarkan saja sambil sesekali mengurangi tekanan pedal gas untuk meregangkan kaki. Dira yang lebih dulu tiba di Ketapang sudah jauh di depan kami. Dari live location yang dia kirim, jaraknya sudah 30 menit di depan mobil kami. Aku terus memacu mobil hingga jalanan mendadak menjadi gelap dan semua bangunan di tepi jalan diganti pepohonan. Aku lihat Mirai dan Pao sudah tertidur. Kedua lenganku mendadak terasa dingin. Aku meminta Oca untuk mengambilkan jaketku yang tergeletak di bawah kakinya di antara berbagai tas. Di Alas Baluran, jalanannya agak menanjak di beberapa bagian. Berhati2lah di bagian itu, truk2 besar kepayahan menanjak, bus2 melaju dengan cepat memanfaatkan jalanan menurun.
Lepas dari Alas Baluran di tengah2 perjalanan menuju ke Situbondo, kami terjebak macet yang cukup parah. Semua mobil berhenti bergerak. Jam 3 pagi. Oca yang kelelahan setelah menemaniku ngobrol sepanjang Alas Baluran memilih untuk tidur dan memintaku untuk beristirahat sambil menunggu macet. Dira yang sudah berjarak 30 menit di depan ternyata juga kena macet. Turu ae turu, kata Putri.
Aku memilih untuk turun dan ngobrol dengan beberapa sopir truk yang bergerombol di belakang mobilku. Ada mobil pribadi (sambil menunjuk ke mobilku) berhenti di tengah jalan, seru seorang sopir dari dalam truknya yang melaju dari arah berlawanan. Mendengar itu seorang sopir memilih menjalankan truknya yang berplat nomor Rembang di lajur kanan. Setengah jam kemudian barulah kami bisa kembali melaju.
Dari arah Surabaya, ada SPBU terakhir di kiri jalan sebelum Alas Baluran yang menurutku enak untuk dijadikan tempat istirahat yang murah. Tempat parkir mobil dan motornya luas dan tidak mepet ke mesin pompa bensin. Aku bertemu dengan keluarga dari Bekasi yang beristirahat di situ setelah berkendara dari Bekasi selama lebih dari 12 jam. Mereka kembali melanjutkan perjalanan ke Bali setelah beristirahat sepanjang subuh. Di belakang deretan toko yang menghadap parkiran mobil ada toilet yang bisa digunakan untuk buang air dan mandi. Bahkan ada dua gazebo yang pagi itu digunakan dua orang untuk tiduran.
Situbondo – Probolinggo
Setelah keluar dari kota Situbondo, kami kembali kena macet di jalanan depan PLTU Paiton tanpa penyebab jelas. Nah di ruas jalan ini Mirai terbukti menjadi navigator yang baik. Anak usia 6 tahun yang cerewet itu menceritakan berbagai macam hal. Mulai dari peliharaan imajinernya hingga mitos yang dia dengar di Youtube bahwa hal2 buruk selalu terjadi di jam 3 pagi. Sambil cerita Mirai memegang handphone yang baterenya sudah mau habis dan membacakan semua yang dia baca di Google maps.
You look tired and sleepy, uncle, kata Mirai yang lebih sering berbahasa Inggris daripada berbahasa Indonesia.
Ya, Mirai, after this macet, if you are sleepy and your mom is not awake, we will pull over to sleep, balasku dalam bahasa Inggris dengan logat yang aku mirip2kan dengan Uncle Roger.
Beberapa menit kemudian kami kembali jalan dan melaju melintasi pembangkit listrik bagi pulau Jawa & Bali itu. Look, Mirai, this place bring lights to the entire island of Java and Bali, kataku. Mirai tidak membalas. Dia sibuk membahas warna2 jalan di peta Google Maps.
Rasa kantukku langsung hilang begitu melihat lampu2 pembangkit listrik dan cerobong PLTU Paiton. Aku langsung tancap gas menelusuri jalanan lurus ke arah Probolinggo. Matahari sudah mulai terbit ketika aku singgah di sebuah pom bensin sebelum kota Probolinggo. Setelah secangkir kopi hitam seharga lima ribu rupiah berpindah ke botol minumku, aku merasa semakin segar dan kuat untuk melanjutkan perjalanan. Now you can sleep, Mirai, its past your bed time, kataku pada Mirai yang sudah tidak cerewet lagi.
Probolinggo – Malang
Memasuki kota Probolinggo, kami disambut dengan suasana sebuah pasar pagi dan kabar dari Putri bahwa mereka sudah tiba di Malang. Tidak lama kemudian kami sudah tiba di pintu tol Probolinggo Barat. Dalam perjalanan kembali dari Malang ke Bali, kami diingatkan oleh mamanya Oca agar memilih pintu tol Probolinggo Barat. Dari Malang kami bertolak ke Probolinggo melalui pintu tol Sawojajar. Setelah itu terus melaju ke arah Pandaan hingga akhirnya menemukan gerbang tol ke arah Probolinggo. Jalan tolnya sepi dan aspalnya bagus. Jalan tol itu kemudian bercabang di Probolinggo Barat dan Timur.
Malang – Surabaya
Kami akhirnya tiba di rumah orang tua Putri jam 8:30 pagi. Dira yang sedang menikmati kopi dan jajanan pasar langsung menyambut dari balik pagar. Oca dan Pao langsung turun dari mobil dan memeluk kedua orang tua Putri. Mirai sang navigator masih tertidur. Setelah beristirahat kurang lebih 1 jam, Dira bergabung dengan aku dan Oca meneruskan perjalanan ke Surabaya. Rute Surabaya – Malang ini sama dengan Denpasar – Jimbaran. Kemacetan dan kepadatan jalan membuat rute ini menurutku sudah tidak bisa digolongkan sebagai road trip.
Semakin mendekati kota Denpasar, jalanan semakin macet. Oca dan Putri memutar lagu2 masa remaja mereka, yang semuanya tidak pernah aku dengar. Sekalipun di perjalanan kembali ke Bali ini Dira tidak ikut menemani, ternyata tidak secapek yang aku kira. Road trip ini juga tidak sesetress yang aku kira, sekalipun semobil dengan Oca, Mirai, Pao, Putri, dan Sebas. Semua keributan anak2 selama perjalanan dan keseruan berbagai obrolan Oca, Putri, dan Dira ternyata semakin menambah keseruan road trip ini. Kalau suatu saat mereka mengajakku lagi, aku pasti akan langsung menyahut, budhal!