Burung Kayu
Penulis: Niduparas Erlang
Editor: Heru Joni Putra & Fariq Alfaruqi
Penerbit: CV. Teroka Gaya Baru, Padang – Jakarta, 2020
Tebal: 174 halaman
Novel ini berlatar belakang kehidupan masyarakat Mentawai, tentang konflik antar suku dan uma yang terus diwariskan dan konflik yang lebih struktural antara kearifan lokal yang tidak berdaya menghadapi pembangunanisme yang datang dari pusat. Dua kisah yang juga bisa kita temukan di Papua.
Saengrekerei, tokoh utama novel ini, adalah seorang pemuda dari suku-sura-boblo, uma Baumanai. Saengrekerei pernah mencoba menyekap seorang perempuan dari uma seberang. Tapi perempuan itu berhasil melarikan diri dan meninggalkan Saengrekerei memendam hasrat dan tindakannya itu, takut menambah keruwetan konflik yang sudah ada antar uma Baumanai dan Babuisiboje.
Tapi kemudian Aman Legeumanai, kakak Saengrekerei, meninggal terjatuh dari ketinggian usai menenggerkan “burung-enggang–kayu” dan menudingkan parangnya ke arah uma yang dipermalukan (Hal. 60). Sepeninggal Aman Legeumanai, uma mengharuskan suami mendiang menikahi salah satu adik ipar yang masih membujang (Hal. 67). Maka, Saengrekerei menikahi Taksilitoni, nama kecil dari Bai Legeumanai, istri Aman Legeumanai dan menjadikan Legeumanai sebagai anaknya.
Cerita kemudian bergeser dari uma ke barasi, dusun bikinan pemerintah. Di uma ada sikerei, di barasi cuma ada polisi. Uma adalah perlindungan, barasi ketercerabutan.
Demikian juga dengan sengketa, beralih dari antara suku – uma menjadi antara pemerintah dan orang Mentawai yang sudah menjadi “warga.” Saengrekerei dan keluarga barunya tinggal di barasi dan dia didapuk sebagai pimpinan desa. Sebagai pimpinan desa, Saengrekerei kemudian menemukan dirinya berada di antara pemerintah dan warganya dalam proses pembentukan Taman Nasional yang luasnya lebih dari separuh pulau Siberut. Yang diserahkan ke pemerintah 36 hektar, yang dicatat malah 360 hektar.
Menariknya, Saengrekerei malah ingin anaknya jadi sasareu, menyeberang ke Tanah Tepi (Hal. 121), sekolah, dan jadi PNS seperti orang Padang. Kau tak perlu belajar berburu seperti teteu-teteu-mu atau bajak-bajak-mu di hulu (Hal. 143), kata Saengrekerei kepada Legeumanai. Tapi Legeumanai sendiri kemudian malah terpanggil untuk menjadi seorang Sikerei.
Novel ini bisa dibandingkan dengan Orang – orang Oetimu karya Felix K. Nesi. Berlatarbelakang kehidupan di sebuah tempat di Indonesia yang jarang didengar oleh orang Indonesia, apalagi dipahami. Yang masyarakatnya berhadapan dengan negara dan agama.
Bedanya, di Burung Kayu ini kita pembaca diposisikan sebagai pendengar, yang harus sabar membaca halaman demi halaman tanpa catatan kaki atau indeks di akhir buku yang menjelaskan arti kata – kata bahasa Mentawai yang banyak bertaburan di novel ini.
Itu yang mungkin tidak dialami oleh orang Mentawai yang ingin disampaikan penulis, didengarkan dan dipahami. Gaya hidup di uma mereka lebih banyak diejek-dicela dan dijanjikan kesejahteraan-kemajuan-pendidikan-pelayanan (Hal. 167).