Judul: Lupakan Aleppo
Penulis: Paola Salwan Daher
Penerjemah: Lisa Soeranto
Penerbit: CV. Marjin Kiri, Tangerang Selatan, 2020
Tebal: 110 halaman
Tiga kisah di dalam novel ini menunjukkan bagaimana manusia berjuang menghadapi dampak dari agresi, konflik politik, dan tekanan masyarakat yang patriarkis.
Abu Nuwas, yang terusir dari tanah airnya di Jaffa, Palestina; Shirine, seorang perawat yang memutuskan untuk meninggalkan Beirut, Lebanon yang diporakporandakan perang saudara; dan Noha, seorang perempuan Arab yang meninggalkan Paris ke Syria hanya demi menyenangkan ayahnya lalu menikah dengan seorang pria bernama Fouad. Mereka kemudian memulai kehidupan baru di Aleppo, Syria.
Abu Nuwas menjadi seorang pawang merpati yang terbaik di Aleppo, Shirine menjadi seorang pemandu wisata, dan Noha, sebagai seorang istri. Shirine dan Noha saling mengamati dari balkon apartemen mereka masing – masing.
Shirine berjuang menghadapi kenangan akan Beirut dan konflik yang mengoyak kota tercintanya itu, Georges kekasihnya yang gugur, dan perkembangan situasi di Aleppo. Dengan semua yang telah dialaminya itu, Shirine tidak mengejar akhir bahagia dari serangkaian kisah pilu akibat konflik. Bagi Shirine, dia sudah tidak punya tujuan untuk menjadi bahagia. “Hidupku harus bermanfaat dan patut dikenang, atau tidak hidup sama sekali.” (Hal. 75)
Berbeda dengan Shirine yang sudah memilih jalan ninjanya tersebut, Noha berjuang menghadapi tragedi pribadi, menghadapi seorang suami yang menggilas identitasnya. Mereduksi dirinya sekedar jadi seorang istri yang submisif, sebuah “kartu nama yang bernyawa.” (Hal. 42) Noha menyadari dirinya “bukan sekedar adendum dari eksistensi seorang laki – laki yang tidak akan memberiku kepuasan.” (Hal. 55)
Shirine dan Noha kemudian dipertemukan ketika Noha overdosis obat antidepresan. Sebuah pertemuan yang kemudian membuat Shirine menghentikan pertanyaan-pertanyaan untuk dirinya sendiri, mulai menyimak kisah Noha (Hal. 108), dan menemani Noha mengambil langkah berani dalam kehidupannya.
Sementara di sisi lain Aleppo, Abu Nuwas memandang langit Aleppo dan merpati-merpatinya sambil terus mengenang Lamis dan tanahnya yang “dirampas oleh Bencana Nakba.” (Hal. 68)
Menghadapi agresi, konflik, dan tragedi, apalagi yang bisa dilakukan manusia selain tertawa, tertawa, dan meneruskan perjuangan?