Kemajuan Pendidikan di Mimika; Tanggung Jawab Kitong Semua

Leave a comment
Current issues / Papua

Sekolah Miria_2

Program Kampanye Pendidikan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran terhadap pentingnya pendidikan dalam masyarakat dan keluarga serta untuk meningkatkan angka partisipasi anak sekolah, khususnya dari kalangan masyarakat Amungme dan Kamoro.

Program ini pertama kali diimplementasikan oleh Biro Pendidikan LPMAK pada tahun 2010 bekerjasama dengan Yayasan Binterbusih Semarang di kampung basis masyarakat Kamoro seperti Koperapoka, Nawaripi, Mware, Kaugapu, dan Hiripau. Kegiatan diawali dengan baseline survey. Hasilnya, di lima kampung masyarakat Kamoro itu terdapat 225 anak usia SD-SMP yang tidak melanjutkan pendidikan mereka dengan berbagai penyebab dan 25 anak dan pemuda yang sama sekali tidak mengenyam pendidikan.

Temuan tersebut ditindaklanjuti dengan pertemuan informal dengan para tokoh masyarakat setempat, guru, dan pemuda. Dalam pertemuan, tim kampanye mendorong para orang tua untuk menyekolahkan anak-anak mereka dan berembug bersama menemukan jalan keluar permasalahan kemandekan pendidikan di kampung mereka. Sedangkan bagi anak-anak, kegiatan berupa pemutaran film-film pendidikan dan pemberian motivasi.

Selanjutnya, Kampanye Pendidikan dilanjutkan dengan pembentukan kelompok-kelompok belajar, koordinasi dengan pihak sekolah setempat dan pelatihan relawan pendidikan. Relawan pendidikan adalah warga setempat yang berkomitmen ikut memajukan pendidikan di kampung mereka masing-masing.

Pada tahun 2011 Biro Pendidikan kembali bekerjasama dengan Yayasan Binterbusih melakukan Kampanye Pendidikan. Daerah sasaran diperluas tidak hanya bagi masyarakat Kamoro, tapi juga masyarakat Amungme di Aramsolki (Akimuga) serta masyarakat Kamoro di Ayuka dan Fakafuku. Hasil baseline survei juga menunjukkan hal yang serupa dengan Kampanye sebelumnya. Di Aramsolki misalnya, murid SD YPPK Bulujaulaki berjumlah 72 anak. Tapi karena para guru tidak aktif mengajar, jumlah murid yang aktif hanya sekitar 35%.

 

Kemajuan Pendidikan di Mimika; Tanggung Jawab Kitong Semua

Dalam kelompok belajar yang diadakan pada sore hari, anak-anak di semua kampung yang terpapar Kampanye Pendidikan –baik yang sekolah maupun putus sekolah– nampak  antusias. Jadi apa sebenarnya yang membuat mereka tidak melanjutkan sekolah? Dan bagi yang sekolah, kenapa masih banyak yang belum tuntas 3M (Membaca, Menulis, Menghitung) sehingga kemudian gagal tidak bisa bersaing di jenjang yang lebih tinggi.

Pertanyaan-pertanyaan semacam itu dibahas di workshop kampanye pendidikan yang diadakan di Timika pada tahun 2012. Workshop dihadiri oleh para relawan pendidikan, tokoh kampung, DPRD Kab. Mimika, Dinas P&K Mimika serta LPMAK dan PTFI selaku pengelola dan penyandang dana Kemitraan yang menjadi sumber pendanaan program Kampanye Pendidikan.

Rendahnya angka partisipasi sekolah anak-anak Amungme dan Kamoro disebabkan oleh banyak hal. Yang paling terlihat tentu saja adalah kurang aktifnya guru mengajar di kampung dan absennya modal sosial masyarakat dalam melakukan pengawasan pendidikan. Banyak orang tua yang prihatin anaknya tidak sekolah dan guru tidak aktif, tapi karena hanya sebatas kekecewaan pribadi dan cuma jadi bahan gerundelan maka perbaikan tidak kunjung nampak.

Bapak Sabinus Bokeyau, tokoh masyarakat Kamoro yang juga menjabat sebagai sekretaris Dewan Pendidikan Mimika, menyatakan bahwa pada masa lalu perhatian dan dukungan masyarakat sangat kuat. Guru yang bertugas di pedalaman diberi sayur, dibuatkan rumah guru, dan mereka aktif mengingatkan anak-anak untuk sekolah. Gaji dan kebutuhan guru lainnya diantar secara rutin oleh yayasan yang menaungi sekolah-sekolah di pesisir selatan Mimika.

Kini semua sudah berubah. Kurangnya kontrol dari pihak yang berwenang, guru lebih banyak di kota, hanyalah sebagian simpul dari adagium yang sudah sangat terkenal di Mimika, yakni “lingkaran setan kemunduran pendidikan.” Yang kerap luput disangkutpautkan dengan lingkaran setan itu adalah tidak terintegrasinya konteks dan kearifan lokal dalam kurikulum pendidikan di Mimika (dan di Papua secara keseluruhan juga).

Namun kemudian semua pihak kemudian sepakat bahwa sikap saling menyalahkan dan menjunjung diri sendiri tidak akan memperbaiki keadaan. Ada langkah yang harus diambil. Masyarakat Mimika sebenarnya sudah memiliki semangat untuk maju, untuk melihat anak-anak mereka menjadi orang terdidik, tapi itu saja tidak cukup. Lembaga adat, Pemerintah (dalam hal ini Dinas P&K), gereja, swasta, dan masyarakat sendiri harus saling bekerja sama secara bertahap mengembangkan pendidikan dasar di Mimika.

Kenapa terdengar macam berat begitu kah? Karena memang ada banyak tantangan yang harus dihadapi, khususnya di zaman ketika modernisasi menderu menerjang Mimika. Di satu sisi orang tua ingin anaknya sekolah. Tapi di sisi yang lain orang tua memandang anak-anak sebagai aset. Anak-anak diajak menokok sagu, mendulang emas, atau dibiarkan berkeliaran tra jelas. Kita tidak perlu heran. Masyarakat Mimika, Amungme dan Kamoro khususnya, sudah sangat sering menjadi obyek pembangunan dan sasaran program-program karitatif. Pengembangan masyarakat hanya sebatas pada pemberian yang instan dan pembangunan infrastruktur saja. Maka perlu usaha keras untuk meyakinkan konsep delayed gratification dari pendidikan anak-anak mereka. Bahwa buah dari pendidikan anak-anak baru bisa dinikmati beberapa tahun mendatang.

 

Rencana Ke Depan

Pada tahun 2013, Kampanye Pendidikan kembali dilakukan oleh Biro Pendidikan bekerjasama dengan Yayasan Binterbusih serta melibatkan PSW (Pengurus Sekolah Wilayah) dari YPPK (Yayasan Pendidikan & Persekolah Katolik). Kampung yang dituju kali ini adalah Ipaya, Manasari, dan SP-1 Timika.

Ke depannya, nama program akan lebih “dibumikan” dengan menggunakan istilah lokal, seperti “Kitong Pi Sekolah” dan lebih melibatkan masyarakat serta terintegrasi dengan program-program LPMAK lainnya yang ada di pedalaman Mimika, seperti program Kesehatan dan Ekonomi.

Tentu masih perlu waktu lama hingga masyarakat, guru, dan murid di kampung-kampung masyarakat Amungme dan Kamoro di Mimika menjadi aktif mengembangkan pendidikan dasar. Tapi toh yang namanya tradisi atau kebiasaan itu bisa dibangun. Seperti halnya Pak Sabinus Bokeyau mengingat lirik lagu yang dinyanyikan orang tuanya dulu di Keakwa tahun 1960-an, yang kemudian memacu semangat belajarnya:

Naik kapal, pergi ke tempat itu (sekolah)

Kau pergi, jangan patah, sekolah sampai selesai…

 

The Author

Sementara ini tinggal di Timika, Papua

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s