Pulang

Leave a comment
Catatan Perjalanan / Papua

Ketika mobilku melintas di depan Rumah Transit Bobaigo di SP-2, langit Timika memerah dan dua ekor burung Maung (Amungme: Rangkong) nampak terbang dengan tenang ke arah utara. Sudah lama aku tidak lihat burung Maung. Mereka biasanya terbang berpasangan, tidak terlalu tinggi sehingga jika suasana sepi kamu bisa mendengar kepakan sayapnya. Dengan semakin banyak penduduk, mereka pasti makin terdesak. Apalagi di daerah SP-2 yang makin padat setiap hari, sekalipun langganan jadi lokasi bentrokan antar kelompok warga atau akrab disebut perang suku. Apakah  burung Maung yang kesepian itu terbang dari rerimbunan pohon di dekat bandara Mozes Kilangin? Apakah mereka menuju ke belakang Rumah Transit Bobaigo, yang sepertinya masih kosong itu?

 

Aku terus melaju ke arah Kuala Kencana. Warna merah di langit sudah digantikan dengan pekatnya hitam. Berarti benar apa kata Mbak Naning di telfon saat aku menelfon memesan Nasi Goreng. Dia bilang, “Selamat malam.” Mungkin lebih ke utara, di SP-3, suasana memang sudah gelap. Yang aku saksikan tadi adalah sisa-sisa cahaya matahari Timika yang panas sekali selama beberapa hari ini. Menyambut gelap dan para pengendara motor Timika yang hobi balap, aku nyalakan lampu mobil. Sorot lampu mobil yang toh tidak banyak membantu pandanganku, selain membuat marka jalan makin terang. Aku kembali berpikir soal sepasang burung Maung tadi. Apakah benar mereka pulang? Apakah benar aku-yang-menyaksikan-mereka-yang-terbang-pulang sedang menuju ke rumahku? Apakah rumah kontrakanku dan para kucing yang ikut menghuni rumah itu adalah “rumah”ku?

 

Aku selalu membayangkan roh-roh Mbikao (Bahasa Kamoro: Setan. Aku lebih suka menyebut mereka peri) melayang-layang di jalan Timika – Kuala Kencana yang makin ramai. Mereka sudah tidak bisa menari di sungai Ajkwa atau Otakwa yang dangkal dan sudah ditinggalkan ikan-ikan dan keceriaan manusia. Jalan ini dan semua keriuhrendahannya, pasti dianggap sebagai sebuah karnaval bagi para Mbikao.

 

Perlu waktu lama bagi para Mbikao untuk membiasakan diri dengan asap knalpot dan untuk melihat manusia -seperti aku- yang sedang diburu waktu sambil memikirkan kapan semua keriuhan karnaval ini akan berakhir, dan bertanya lirih sambil melihat kaca spion mobil; apakah kamu benar-benar pulang? Untuk apa sebenarnya semua keriuhrendahan ini? Bisakah kita memutar sejarah dan membiarkan orang Kamoro dan Amungme hidup tenang tanpa tambang raksasa dan kekerasan militer dan budaya? Kenapa aku seperti melihat rombongan Mbikao menari-nari di depanku, lengkap dengan bendera merah putih yang membuatmu ingin menangis sedih. Mereka menari-nari ke hadapanku dan menyanyikan lagunya Sigur Ros dengan riang gembira, “Inní mér syngur vitleysingur….”, “inside me a madman sings…” di dalam tubuhku ada orang gila yang menyanyi.

 

Lamat-lamat para Mbikao terbang menghilang ke atas, menyusul burung Maung yang besok mungkin sudah ditembak atau pergi mencari sarang baru. Motor-motor dan mobil melaju ke arah Timika dengan kencang. Sinar matahari semakin menghilang ditelan cakrawala. Untuk sesaat aku merasa harus pulang, tiba di rumah kontrakan, mandi, tidur dengan Minyu, menatap tumpukan buku, tidak berpikir, tidak merasa di sini atau di mana saja.

 

The Author

Sementara ini tinggal di Timika, Papua

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s