VIRUS
Sudah lama Minka, Onyong, dan segenap keluarga Onyong tidak berkunjung ke dokter hewan. Hari Sabtu (5/11/16) kemarin aku antar mereka ke drh. Erma di Timika. Sudah dua hari sebelumnya mereka bersin-bersin dan lemas badannya. Aku kira karena mereka keseringan makan rumput atau keracunan jamur/serangga.
Setelah diperiksa, ternyata mereka kena virus Rhinotach, yang gejalanya menyerupai influenza. Virus itu sedang mewabah di Timika. Seorang ibu di Jalan Pendidikan yang memiliki 12 kucing (warbyasah, bukan?) juga mengalami hal yang sama. Tiga ekor kucingnya meninggal dunia karena virus ini.
Untunglah Onyong sekeluarga sudah dua kali divaksin. Daya tahan mereka jadinya lebih kuat. Di kunjungan kali ini, mereka hanya disuntik obat dan diperbolehkan pulang. Di sepanjang perjalanan Timika – Kuala Kencana, Onyong tidak henti-hentinya mengeong.
Aku jadi merasa bersalah. Sebenarnya sempat terpikirkan olehku, tahun ini sudah tahun kedua sejak mereka terakhir kali divaksin dan mereka akan pindah rumah. Pikiran hanya tinggal pikiran. Aku lebih sibuk memperbaiki rumah baru mereka.
Menurut drh. Erma, kucing memang rentan terserang penyakit ini. Tapi di Timika, baru kali ini ada wabah Rhinotach. Biasanya, drh. Erma lebih sering menangani wabah penyakitnya anjing, seperti Parvo. Apakah karena populasi kucing makin banyak, dok? Tanyaku. Mungkin, tapi bisa juga karena ada kucing dari luar Papua yang terinfeksi lalu dibawa ke Papua, kata drh. Erma.
Parvo membuat anjing jadi lemas, berak darah, dan mati jika tidak ditangani dengan baik. Dulu ketika masih tinggal di Yogya, aku pernah beli anjing di Pasar Ngasem. Sebulan kemudian, anjing lucu itu meninggal karena Parvo sekalipun sudah aku bawa ke Klinik milik Fakultas Kedokteran Hewan UGM.
Setibanya di rumah, aku langsung memberi vitamin Nutri gel yang diresepkan oleh drh. Erma ke Onyong dan Minka. Virus sudah menyebar ke Beni dan Poni. Mereka juga sudah bersin-bersin dan nampak lesu. Duh.
Malam harinya, aku ke Timika lagi untuk berbincang-bincang dengan dua orang dosen dan dua orang perawat dari Bandung yang menemani seorang mahasiswa beasiswa LPMAK pulang ke Timika karena terserang Meningitis. Menurut Pak Ujo, perawat senior (dia pernah menangani wabah Tuberculosis di 4 kecamatan di Jawa Barat tahun 1979) yang menemani mahasiswa itu sejak bulan Juni tahun ini, virus itu membuat si mahasiswa jadi “terbelakang” mentalnya. Jadi suka klepto, berperilaku aneh, dan penyendiri. Solusinya, harus ada pendampingan intensif dari dokter di Timika dan asupan makanan yang bergizi. Rumahnya juga harus ventilasinya, supaya virus Tuberculosis mampus dan tidak menular.
Sambil menempuh perjalanan pulang ke Kuala, aku membuka Facebook dan mengikuti berita soal demo “damai” di Jakarta. Para pendemo menuntut Ahok untuk “ditangkap” dan “dihukum” karena sudah menista agama Islam.
Beberapa orang yang aku kenal di Facebook mendukung aksi ini. Umumnya berpendidikan sarjana. Bahkan ada yang sudah pasca-sarjana. Ada yang suka membaca buku. Sayangnya, aku tidak sempat tanya mereka, apakah sudah melihat langsung rekaman videonya yang aslinya dan menempatkannya dalam konteksnya, apakah sudah tahu bahwa Ahok sudah minta maaf, apakah tahu bahwa sudah ada Undang-undang yang mengatur, apakah tahu bahwa di republik ini tidak bisa asal tangkap dan hukum orang (sekalipun sebenarnya banyak juga yang mengalami hal ini), apakah sudah menimbang sebelum menulis status dan menyebarkan informasi.
Mereka punya kemampuan untuk melakukan itu tapi toh tidak dilakukan. Pokoknya menista. Begitu saja biasanya jawabannya.
Tidak ada lampu penerang jalan di jalan antara Timika – Kuala Kencana. Maka aku menutup handphone-ku dan kembali fokus ke jalan. Rupanya, dibandingkan Rhinotach di kucing atau Tuberculosis di manusia, virus politik kekuasaan dan kebebalan jauh lebih berbahaya. Dia bisa menyerang siapa saja, tidak peduli setinggi apa pendidikannya.
Angin Malam Timika yang dingin menerpaku dari jendela mobil. Mendadak aku merasa letih. Kurasakan air mengalir di atas pelupuk bibirku. Ah, aku terharu rupanya.
Bah, tapi kok ternyata air keluar dari hidung, bukan dari mata. Tidak lama kemudian aku bersin dengan keras. Ealah, ternyata aku kena virus juga.