Sambil memanaskan air untuk membuat kopi pagi, aku membaca semua pesan dan kabar yang muncul di handphone dan menekan tombol “mute for 1 week” (seharusnya “1 year”) di beberapa grup WhatsApp yang sedang meributkan rencana demonstrasi menolak Ahok di Jakarta, dan menyadari sudah hampir seminggu aku melewatkan rencana membuat status Facebook soal ulang tahun yang ku jamin akan mengharu-biru dan mendulang ratusan “like.” Aku juga baru sadar kalau sudah lama tidak baca koran lokal Timika.
Sudah lima hari aku berada di luar Timika untuk mengunjungi anak-anak Amungme dan Kamoro yang sedang kuliah di Surabaya dan Malang. Begitu banyak yang harus didengar dan dicatat dari pengalaman adik-adik penerima beasiswa LPMAK(Lembaga Pengembangan Masyarakat Amungme & Kamoro) ini. Akhirnya aku memilih mengikuti kabar Timika dari “Salam Papua” yang cukup rajin memposting tulisan-tulisannya. Beritanya cukup beragam, mulai dari pesawat milik Pemda Mimika yang tergelincir di Puncak Jaya, sengketa antara DPRD dan Bupati Mimika, dan sebuah obituari Pak John Nakiaya. Obituari itu dihiasi dengan foto Pak John sedang mengenakan aksesoris khasnya, topi baret.
Pak John Nakiaya adalah Sekretaris Eksekutif LPMAK periode 2002 hingga 2010. Dua hari lalu pada 12 Oktober 2016, Pak John berpulang ke rumah Tete Manis di surga. Karena sedang di Surabaya, aku datang melayat ke rumah persemayaman jenazah Adi Jasa di Jalan Demak bersama dengan rekan kerja di LPMAK dan beberapa dosen Universitas Katolik Widya Mandala.
Jenazah Pak John baru saja dimandikan dan sudah mengenakan jas. Wajahnya Nampak damai. Beberapa kali bahkan aku seperti melihat beliau tersenyum simpul. Di masa akhir hidupnya, Pak John memang berjuang melawan diabetes.
Saat Bu Anita Lie berkunjung ke Timika bulan September lalu, Bu Anita mengajakku ke rumah Pak John di SP-2 Timika, saat itu Pak John nampak sehat dan gembira. Kami bertukar banyak cerita. Pak John sempat cerita bagaimana dulu dia meninggalkan pekerjaannya di Delegatus Sosial Keuskupan Jayapura untuk menjadi pimpinan LPMAK di tahun 2002. Masa itu dikenang sebagai masa yang berat. LPMAK baru saja mengalami perubahan struktur dan ada banyak sekali pekerjaan yang dilakukan untuk memperbaiki lembaga dan pelayanan.
Kepergian pria kelahiran Kaokanao tahun 1953 itu membuat banyak rekan, sahabat, dan kolega terkejut tidak percaya. Selain terkejut, biasanya orang kemudian mendoakan arwahnya, dan mengingat etos kerja almarhum semasa masih menjabat sebagai Sekretaris Eksekutif LPMAK dari tahun 2002 – 2010. Pak John orang yang ulet dan teliti. Sekalipun menjabat sebagai pimpinan tertinggi LPMAK, beliau tidak jarang ikut turun tangan menangani hal-hal kecil demi melancarkan program.
Selain sebagai pimpinan sebuah lembaga pengelola Dana Kemitraan PT. Freeport Indonesia, orang biasanya juga mengenang salah satu ciri khas Pak John, rasa humor dan koleksi cerita mop beliau yang banyak sekali. Tanpa bermaksud membanding-bandingkan atau mengangkat-angkat, bagiku mengingat sosok Pak John sama seperti mengingat sosok Gus Dur. Gelak tawa Pak John di akhir cerita mop adalah gong yang sempurna, mengakhiri mop dan mengajak pendengar tertawa lepas. Tidak jarang, suasana rapat yang awalnya serius jadi bubar gara-gara cerita lucu Pak John. Bahkan menurut Pak Yeremias Imbiri, Pak John pernah membuat seluruh anggota Komisi VI DPR-RI tertawa terpingkal-pingkal saat rapat di Hotel Sheraton Timika.
Salah satu cerita lucu yang sering disampaikan Pak John adalah cerita Fuyunghai. Suatu saat, ada orang kampung di Timika pergi bersekolah di Jawa. Setelah lulus, pace pulang ke sebuah kampung. Di Timika, pace yang su lama hidup di Jawa itu masuk ke sebuah warung makan. Pace de pesan berbagai macam makanan yang pernah dia makan di Jawa, mulai dari pecel, rawon, soto ayam. Mace yang jual selalu jawab, “tidak ada, anak.” Pace lalu pesan lagi, “Ibu, kalau Fuyunghai ada kah? Mace menjawab, “Ah, apalagi itu anak. Tarada. Kalau Cukimai ada.” Haha…
Pria yang akrab dipanggil “Big John” oleh James Moffet (pendiri Freeport McMoran) ini bukan hanya suka mengulang cerita mop Fuyunghai. Pak John sangat berdedikasi dengan cita-cita untuk memajukan masyarakat Kamoro dan Amungme. Hal itu Nampak dari cerita-cerita Pak John soal pencapaian LPMAK seperti pendirian Asrama dan Sekolah Dasar Penjunan (sekarang namanya Sekolah Asrama Taruna Papua), anak Amungme pertama yang jadi pilot, Nalio Jangkup, Sekolah Sepak Bola Kaokanao, serta buku dan film cerita rakyat Amungme dan Kamoro.
Hingga akhir hayatnya pun, Pak John seolah bisa membuat mop. Bedanya mop ini yang cerita bukan Pak John, tapi salah satu staf LPMAK yang sudah cukup lama bekerja dengan Pak John, namanya Pak Thoby Maturbongs.
Ketika mendengar Pak John meninggal dunia di Rumah Sakit Katolik Vincentius a Paulo (RKZ) Surabaya, Pak Thobias yang akrab dipanggil Pak Thoby itu, langsung bergegas ke rumah sakit. Di depan jenazah Pak John yang bagi Pak Thoby juga terlihat seperti orang yang sedang tidur dengan tenang itu, Pak Thoby jadi ingat sebuah pengalaman beberapa tahun lampau dengan Pak John.
Saat itu, Bapa Leo Piry, anggota Badan Musyawarah LPMAK yang mewakili masyarakat Kamoro, meninggal dunia di Jakarta. Pak John meminta Pak Thoby pergi ke rumah sakit untuk memastikan bahwa apakah benar yang meninggal adalah Pak Leo Piry.
Sekalipun heran karena sudah jelas bahwa yang meninggal adalah Pak Leo Piry, Pak Thoby tetap berangkat ke Rumah Sakit. Setibanya di RS, Pak Thoby menelfon Pak John. Mendengar itu, Pak John bilang “Ahh… kenapa paitua meninggal di perantauan?” Keesokan paginya, Pak John bilang bahwa dia susah tidur semalam, karena takut didatangi arwah Pak Leo Piry.
Pak Thoby mengingat pengalaman itu di depan jenazah Pak John sambil tersenyum. Pak Thoby kemudian berbisik lirih, “Kaka dulu bilang begitu tapi sekarang kaka meninggal di Surabaya. Hehe… tidak apa-apa, Kaka. Selamat jalan, Kaka. Ndoro (Bhs. Kamoro; saya) pamit pulang dulu. Nimao (Bhs. Kamoro; salam)”
Malam harinya, ganti Pak Thoby yang ketakutan di kamar hotel. Takut kalau Pak John menampakkan diri untuk pamit melalui kaca-kaca. Pak Thoby cuma bisa bilang, “Kaka, kalau mau datang bilang-bilang, kah.” Hehe.
Pak John mungkin menyadari benar betapa beratnya perjuangan mengangkat harkat dan martabat hidup orang Kamoro dan Amungme. Pak John pernah bercerita bagaimana kehidupan orang Kamoro makin terperosok di dalam keterbelakangan justru setelah Papua kembali ke dalam “pangkuan ibu pertiwi.” Pak John sangat khawatir dengan masa depan orang Kamoro. Kekhawatiran yang kemudian menjelma menjadi kerja keras. Setelah pension sebagai Sekretaris Eksekutif LPMAK, Pak John masih sibuk bergiat di LEMASKO (Lembaga Musyawarah Adat Suku Kamoro) dan aktif memperjuangkan pemekaran Kabupaten Mimika Barat. Selain diwujudkan sebagai kerja keras, Pak John membatasi kekhawatirannya dengan canda tawa. Supaya ada batas demarkasi jelas antara realita yang penuh sengkarut dan dirinya yang harus tetap utuh tidak dirontokkan oleh kenyataan. Seperti yang dikatakan Milan Kundera, “joking is a barrier between man and the world.”
Selamat jalan, Bapa John. Terima kasih atas semua canda, tawa, dan pelajarannya. Semoga makin banyak anak-anak muda Kamoro yang meneruskan cita-citamu.
Nimao!
Terima kasih Pa Onny Wiranda, sudah mau menulis dan berbagi kesan cerita pendek ini mengenai Alm. Tete Jhon Nakiaya semoga masyarakat bisa mendengar cerita-” tersebut dimana saja dan kapan saja, dan kelak semoga ada orang yang bisa menceritakan ulang cerita Alm Jhon Nakiaya.
Nimao!