Siapapun yang berjuang dengan harapan satu-satunya memperoleh materi sesungguhnya tidak memperoleh apa pun yang bernilai untuk hidup… Pesawat bukanlah tujuan: semata-mata hanya alat. Alat seperti bajak.
– Antoine de Saint-Exupery, Bumi Manusia
Di kota yang tidak banyak hiburan seperti Timika, menonton pesawat mendarat dan tinggal landas di bandara Mozes Kilangin Timika adalah sebuah rekreasi yang menyenangkan. Setiap pagi atau sore hari, apalagi di akhir pekan, jalan dekat bandara dipenuhi orang-orang yang menonton kesibukan bandara Mozes Kilangin.
Bukan hal yang luar biasa sebenarnya. Tapi di Timika, ada semacam ketakjuban ketika kita melihat helikopter dan pesawat-pesawat perintis yang berukuran kecil terbang landas dan berbelok ke pegunungan tengah, yang membentang abadi menghiasi cakrawala bandara Mozes Kilangin dan kota Timika.
Di bandara Mozes Kilangin Timika atau Sentani Jayapura, pesawat-pesawat milik AMA dan MAV serta Trigana dan Susi Air, nampak seperti mainan dibandingkan pesawat jet maskapai penerbangan besar seperti Garuda Indonesia, Airfast, Merpati, dan Sriwijaya Air. Tapi pesawat mainan itulah yang menembusi kabut dan lereng-lereng pegunungan tengah dan mendarat di landas pacu kecil yang kadang lebih mirip lapangan volley kelas kampung.
Kecuali satu obrolan singkat dengan pilot helikopter Airfast dalam perjalanan ke Potowayburu, saya tidak pernah mendapatkan gambaran kehidupan para pilot helikopter atau pesawat perintis. Hingga akhirnya, berkat perkembangan teknologi, saya berkenalan dengan Matt Dearden, seorang pilot Susi Air dari Inggris. Orangnya masih muda dan rajin mendokumentasikan pengalamannya melalui tulisan, foto, dan rekaman video.
***
Matt Dearden mendapatkan lisensi sebagai private pilot di Aero flying school di Bristol, Inggris pada tahun 2006. Setelah itu dia melanjutkan pelatihannya hingga mendapatkan lisensi sebagai commercial pilot dari Bristol Flying Centre.
Setelah mengantongi lisensi terbang, Matt mendapatkan pekerjaan di Indonesia pada tahun 2009 bekerja di Susi Air sebagai co-pilot pesawat Cessna C208 Carvan. Pada tahun 2012, Matt pindah ke Papua masih di maskapai yang sama. Bedanya, pesawat yang digunakan di Papua adalah Pilatus PC-6 Turbo Porter.
Pilatus bisa memuat 9 penumpang beserta barang-barang bawaan mereka. Jika semua kursi disingkirkan, Pilatus mampu memuat 850 kg kargo ke daerah manapun di Papua. Tidak heran jika Pilatus kemudian menjadi sangat populer di Papua, karena kemampuannya untuk mendarat di landas pacu yang pendek.
Menurut pria yang pernah bekerja sebagai seorang programmer komputer ini, sudah lama sekali dia mendengar tentang asyiknya terbang di Papua. Ada sensasi tersendiri dengan menerbangkan pesawat dari kota besar menembus cuaca dan bentang alam yang menantang menuju desa-desa yang terpencil.
Pilatus PC-6 Bush Flying – Timika, Papua from IndoPilot on Vimeo.
Beberapa tempat yang sangat berkesan baginya adalah lembah menuju Hitadipa, serta desa-desa yang terletak di lokasi yang sangat dramatis seperti Deneode, Kegata, Apowo, dan Idedua. Desa-desa, yang bagi Matt, akan dengan cepat mengalami perubahan seiring dengan semakin lancarnya transportasi udara. Di banyak tempat yang dikunjungi Matt, tanda-tanda kemajuan zaman mulai nampak, sekalipun sama artifisialnya dengan di Timika, seperti listrik dan telepon genggam.
Setiap hari aktivitas Matt dimulai jam 5:30 untuk melakukan pemeriksaan pesawat. Lalu jam 6:00 Matt memulai penerbangan pertama dari lima penerbangan dalam satu hari. Tugas Matt selesai sekitar jam 14:30. Rutinitas itu dijalani selama 6 hari dalam seminggu.Kehidupan seorang pilot, apalagi pilot pesawat perintis, adalah hidup yang spartan menuntut disiplin dan ketangguhan pribadi.

Nalio Jangkup (kiri), anak muda Amungme yang berhasil meraih cita-citanya menjadi pilot. Foto © Octovian Jangkup
Karena itu, bagi anak-anak muda Amungme yang sekarang sedang mengikuti pelatihan dan sudah mulai terbang, Matt berpesan agar mereka menjadi pribadi yang aktif, jangan segan untuk bertanya pada instruktur atau pilot dan selalu dengarkan apa yang disampaikan pilot, tapi juga jangan sungkan memberitahu pilot apabila ada hal yang dirasa kurang pas.
***
Kehidupan seorang pilot pesawat perintis di pedalaman Papua tentu sangat berbeda jauh dengan kehidupan pilot pesawat jet. Tidak ada yang glamor dari terbang ke kampung-kampung di pegunungan tengah, membantu menurunkan barang, melihat orang bertengkar, memperbaiki pesawat, dan membersihkan lapangan pendaratan. Di akhir pekan, Matt memanfaatkan waktu luangnya untuk berdiskusi dengan pilot-pilot lain di mess tempat tinggalnya, berolahraga dan mengedit foto serta membuat tulisan untuk blognya, yang kemudian menginspirasi banyak orang di seluruh dunia.
Ketika aku beritahu bahwa kisah-kisahnya mengingatkanku akan pengalaman Antoine de Saint-Exupery, pilot pesawat cum penulis dari Prancis, Matt membalas ringan: “saya kurang tahu apakah (saya) bisa dibandingkan (dengan de Saint-Exupery), yang jelas saya suka membagi pengalaman. Suatu hari nanti mungkin saya akan nulis buku, tapi sekarang ini rasanya ngeblog sudah cukup.”
Tidak heran jika tagline blog Matt adalah “Why would you want to fly a big jet?” (Buat Apa Menerbangkan Pesawat Jet?”). Ya, buat apa menerbangkan pesawat jet, jika ternyata hanya terjebak dalam rutinitas kerja belaka.
Ditulis berdasarkan obrolan melalui email pada 12 November 2013 dan beberapa informasi dari blog pribadi Matt Dearden http://indopilot.blogspot.com
Bagus artikel – terima kasih untuk berbagi! Aku melihat blog Matt juga. Video yang luar biasa! Cheers!