Suatu hari, di Laboratorium Komputer MPCC (Multi-Purpose Community Center), Timika, beberapa anak sedang asyik mengikuti pelajaran komputer dari instruktur. Tapi ada satu anak yang layar monitornya tidak sinkron dengan pelajaran yang diberikan. Anak itu, Henrikus Tsunme, rupanya sedang mengerjakan tugas Microsoft Word yang harus dikumpulkan keesokan harinya.
Menurut Pak John Angkasa, Manajer MPCC, jadwal belajar Henrikus Tsunme seharusnya hanya di hari Rabu. Tapi Henrikus selalu tiba kembali di Lab. Komputer sehari sesudah atau sebelum jadwalnya untuk mengerjakan tugas.
Semenjak lulus SMA, pemuda Amungme itu tidak melanjutkan studi karena orang tua tidak mampu membiayai studinya. Karena itu Henrikus sekarang berniat memiliki ketrampilan agar dapat mendapatkan pekerjaan dan tidak membebani orang tuanya.
Sementara itu di kantor LPMAK, Okeni Pekei sedang sibuk memilah buku-buku bekas yang berserakan di halaman kantor. Buku-buku itu adalah sisa dari program bantuan yang digalang oleh para pelajar Mimika yang studi di Jawa tahun 2008 lampau. Sebagian besar sudah disalurkan kepada sekolah-sekolah di dataran tinggi Mimika, seperti Aroanop, Tsinga, dan Banti, tapi ada beberapa kardus buku yang tersisa di kantor LPMAK.
Beberapa saat kemudian, dia membawa buku-buku itu ke sebuah kursi di depan ruanganku. Karena penasaran, aku mendekati sekedar untuk mengetahui pilihan buku-bukunya. Ternyata buku-buku biasa saja,mulai dari buku PPKN entah warisan menteri pendidikan yang mana hingga buku cerita rakyat terbitan Dinas Pendidikan & Kebudayaan. Tapi toh Okeni nampak sangat menikmati buku-buku itu.
Pemuda yang pendiam itu kemudian menceritakan rumahnya yang dipenuhi dengan buku-buku. Sebagian milik Okeni sendiri, sebagian lagi milik kakak dan adiknya. Kakaknya adalah seorang pendeta yang bertugas di Jayapura dan sekarang sedang mengambil jenjang magister di sebuah kampus di Jayapura.
Mendengar rumah yang dipenuhi buku, apalagi di Papua, sungguh segar sekali rasanya. Mendapatkan buku di Papua bukan hal yang mudah. Di Timika misalnya, ada begitu banyak tempat makan dan belanja. Tapi hanya ada dua toko buku. Itu pun tempatnya kurang menarik. Tidak heran jika Kementrian Pendidikan “mendakwa” Papua, bersama dengan Sulawesi Selatan, Sumatra Utara, dan Bali, sebagai daerah dengan tingkat literasi paling rendah (Jakarta Post, 9 September 2011).
Karena tertarik mengikuti tes beasiswa LPMAK, Okeni rela meninggalkan kuliahnya dan pergi ke Timika untuk ikut tes potensi akademik sebuah sekolah tinggi ilmu pendidikan dari Jakarta. Ketika aku tanya kenapa mau jadi guru, jawabannya cukup sederhana, “biar bisa jadi guru dan belajar terus, seperti kakak saya.”
Tes potensi akademik berhasil dilalui Okeni dengan baik. Dia dinyatakan lulus. Tapi sayangnya pada saat tes kesehatan Okeni dinyatakan tidak lulus. Tidak lama berselang aku bertemu Okeni lagi, yang ternyata masih suka membaca buku dan menyimpan keinginan besar untuk kuliah.
***
Okeni dan Henrikus memang dilahirkan di zaman digital, tapi masih sangat jauh dari budaya e-book atau cloud computing. Mereka adalah anasir literasi di tempat yang masih bergulat dengan dasar literasi, kemampuan membaca. Sekalipun demikian, Okeni dan Henrikus sudah punya modal penting untuk jadi seorang manusia yang terdidik, yakni kesukaan pada ilmu pengetahuan.
Mungkin tujuan punya ilmu dan ketrampilan hidup (life skills) itu sederhana saja, seperti halnya Okeni dan Henrikus, yaitu membahagiakan diri sendiri atau orang terdekatmu dan mengabdikan diri untuk masyarakat. Kalau mau dengar tujuan yang “berat”, silakan Anda buka daftar Kompetensi Inti dari Kurikulum 2013 yang sekarang sedang gencar disosialisasikan Pak Menteri Pendidikan.
Baik Okeni dan Henrikus memang belum pernah dan sepertinya tidak akan pernah membaca daftar kompetensi inti bikinan Kementrian Pendidikan. Tapi toh, sikap dan kebiasaan mereka telah menunjukkan tujuan sebenarnya dari ilmu dan ketrampilan hidup.
Ternyata masih banyak orang yang memikirkan sesama, termasuk dengan Anda yg peduli nasib anak pedalaman Papua. Salam dari jalanan Surabaya