Teman Pu Lahan

Leave a comment
Tentang kawan
Foto: Koleksi pribadi teman

“Pulang sudah. Ini hari Sabtu. Besok ibadah,” katanya sambil menyeruput Extrajoss susu. Aku tidak pernah memesan minuman kegemaran orang Timika itu. Tapi melihat temanku menyeruput segelas Extrajoss susu itu aku bisa mengerti kenapa minuman itu begitu digemari di sini.

Setelah menghabiskan Extrajoss susu, aku membantunya berkemas. Lumayan juga apa yang kami kerjakan hari ini. Mulai dari menyingkirkan kayu yang memalang jalan masuk ke lahannya, membersihkan sebagian kecil lahannya, menebar benih bayam, menanam beberapa biji alpukat, dan menerabas hutan di belakang lahannya. Rencananya mau lihat sungai yang menurut temanku itu bisa dijadikan tempat wisata alternatif di Timika. 

Dia bangga sekali dengan lahannya yang berlokasi sekitar 50 km dari Timika. Sejak punya lahan itu, setiap hari sabtu dia ke pergi ke lahannya. Di hari senin, dia akan menceritakan apa saja yang dia lakukan. Setelah beberapa kali cerita dan setelah sama2 isoman, akhirnya sekarang aku bisa melihat langsung lahannya. 

Dari Timika, kami melaju ke utara ke arah Kuala Kencana.  Kami berbelok ke kiri di perempatan sebelum Kuala Kencana, ke arah jalan Trans Papua yang rencananya akan menghubungkan Timika dengan Nabire. Itu rute yang biasa ditempuh orang Timika yang mau berwisata ke sebuah sungai yang Namanya Kali Pindah – pindah.  

Sebelum Kali Pindah – pindah, kami berbelok ke sebuah jalan makadam. Kurang lebih 1 km kemudian kami tiba di pinggir lokasi lahan. Setelah turun dari mobil, masih harus jalan kaki sekitar 500 meter menembus pepohonan yang membentuk kanopi yang menghalangi sinar matahari. Di  separuh gelap yang hijau itu, kata Goenawan Moehamad, yang kekal hadir. Tiap detik yang berlalu di Mimika ini, lagi – lagi meminjam kata – kata GM, seakan “menyelinap menyatu ke dalam klorofil” daun – daun dan batang – batang pepohonan ini.

Hingga akhirnya aku melihat sebuah bukaan lahan. Dia langsung memamerkan berbagai tanaman yang sudah dia tanam. Ada keladi, ubi, pisang, pinang, buah merah, bahkan tebu. Banyak juga. 

“Tanah luas jadi, apa saja kita bisa tanam. Kalau tidak tanam, rumput liar bisa tumbuh lagi,” katanya sambil menaruh hape dan tasnya di pondok kecil. “Tapi tanah di sini masih tidak seperti di Jawa. Tidak ada gunung api,” tambahnya lagi. Aku jadi ingat catatan Pram Ketika dia pertama tiba di Pulau Buru Bersama dengan ratusan Tahanan Politik korban Tragedi 1965. Pram mencatat di “Nyanyi Sunyi Seorang Bisu”, tanah di Pulau Buru tidak subur dan sebaiknya dibiarkan jadi hutan dulu selama 100 tahun. Apakah hal itu juga berlaku di Papua? Rasanya tidak. Apalagi setelah melihat berbagai macam tanaman yang temanku semai dan mulai bertumbuh subur. 

Sebenarnya aku lebih sering duduk – duduk di pondok dan melihat temanku bekerja. Sesekali aku saja membantunya menebar benih dan menanam. Setelah sekitar 30 menit menyibukkan diri dia kembali ke pondok, mengajakku ke hutan di belakang lahannya, menceritakan bahwa sebenarnya dulu leluhurnya tinggal di sekitar sini sebelum kemudian pergi ke danau Tigi dan beranak pinak di sana, serta bagaimana dia berharap sepuluh tahun lagi lahan ini akan dinikmati hasilnya oleh dua orang anaknya, sambil membuka wadah minum yang ternyata berisi extrajoss susu, lalu mengajakku pulang. 

“Sebentar. Hape saya ketinggalan di pondok kah?” tanyanya sambil mencari di sekitar tempat duduk dan sekitar dashboard mobilnya. “Ah sudah, besok ibadah. Buat apa pikir hape?” balasku. “Ah, jangan, kita balik dulu, ya,” katanya. Mobil berbalik ke jalan makadam. Untung masih belum terlalu jauh dari lahan temanku.

The Author

Sementara ini tinggal di Timika, Papua

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s