
Krek. Krekkk. Krek. Cahaya berdiri dari kursinya dan meregangkan kaki, jari jemari tangan, dan lehernya. Dia suka sekali suara2 itu. Suara2 yang pernah membuat seorang teman bulenya khawatir bahwa jari2 Cahaya pada patah. Dia juga tidak paham kebiasaan Cahaya minum Tolak Angin sacchetan. Cahaya tertawa mengingat itu. “Dasar bule,” katanya sambil beranjak dari mejanya.
Meja kerja Cahaya berada di sebuah kamar yang kecil. Ukurannya cuma 3 x 2 meter. Catnya abu2. Di atas meja kerja yg terbuat dari kayu besi itu cuma ada laptop, sebotol air, sebuah earphone warna putih, kotak plastik berisi buku tulis dan kain lap warna biru, sebuah handphobe, dan segelas kopi dengan sendok kecil terkulai di lepek.
Sekalipun kadang sumpek, apalagi jika cuaca Timika sedang panas, Cahaya suka dengan meja kerjanya, karena menghadap ke sebuah jendela kecil dan pemandangan rerimbunan batang2 lengkuas setinggi 2 meter. Biasanya setelah melakukan peregangan lengkap dengan suara krek2 itu, Cahaya tetap dalam posisi berdiri lalu menyalakan sebatang rokok. Asap rokok berhembus keluar dari jendela menimpa batang2 lengkuas.
Tiba2 dia teringat teman bulenya lagi, yang kini tinggal di sebuah rimba luas di Ekuador. Setiap bulan Cahaya rutin mengirimkan tulisan2nya utk temannya itu.
“Tulisanmu sama buruknya dg roman2 picisan yang saya baca di sini. Itu kenapa saya suka tulisan2mu. Tetap kirim saya, ya. Haha!” Kata bule itu.
“Taek,” balas Cahaya.
“Taek? Apa itu?” Tanya si bule yg tidak paham Bahasa Indonesia.
“Sama dengan baik, baek,” balas Cahaya.
“Ah, bagus sekali,” kata si Bule yg kemudian meneruskan tawanya.
Dialog itu berakhir dengan si bule yang memamerkan meja tempatnya membaca. Mejanya tinggi. Di pinggir sungai, si bule tua itu membaca perlahan2 cerita cintanya. “Momen2 kenikmatan” katanya.
Cahaya menatap mejanya sendiri. Meja yg tiba2 terasa pendek, jauh di bawah, mencengkeram tubuhnya ke kursi reot, menjauhkannya dari batang2 lengkuas.
.
Cahaya kemudian menyingkirkan mejanya, lalu membuat meja baru. Meja setinggi pinggangnya, yang membuatnya bisa menulis dalam posisi berdiri. Cahaya berharap dia bisa menulis cerita2 yg lebih buruk lagi si bule tua. Cerita2 yg mirip dg yg ditemui si bule tua di Ekuador. Tentang orang utan yg makin terdesak krn hutannya habis, seperti macan kumbang di Ekuador dan tentang kota yang akan dibangun di tengah belantara mirip Amazon. Cerita2 yg akan membuat Antonio Jose Bolivar, si bule tua itu, terduduk setelah membaca, dan menggumam, “ini taek sekali.”