New English Weekly, 21 Maret 1940
Penerbitan Mein Kampf dari Hurst dan Blackett setahun lalu yang disunting dari sisi pro Hitler, merupakan penanda cepatnya laju waktu. Tujuan utama pengantar penerjemah dan penambahan catatan adalah untuk melunakkan buku dan sebisa mungkin menampilkan wajah Hitler yang ramah. Karena saat itu Hitler masih merupakan sosok yang terhormat. Hitler telah menghancurkan gerakan buruh Jerman. Sebuah tindakan yang membuat kelas pemilik properti bersedia memaafkan Hitler atas apapun yang dia lakukan. Baik kaum Kiri dan Kanan sama-sama berpandangan bahwa Nasionalisme Sosialisme adalah sebentuk konservatisme belaka.
Semuanya tiba-tiba berubah, Hitler bukan lagi orang yang terhormat. Akibatnya, edisi Hurst dan Blackett dicetak ulang dengan sampul baru ditambah penjelasan bahwa semua keuntungan akan disumbangkan kepada Palang Merah. Sekalipun demikian, sulit untuk mempercayai bahwa ada perubahan pada tujuan dan opini Hitler di dalam Mein Kampf. Jika membandingkan ujaran Hitler dengan lima belas tahun lalu, hal yang paling kentara adalah kekolotan cara berpikirnya, cara pandangnya yang tidak berubah, visi monomaniak yang kaku, yang sepertinya tidak terpengaruh dengan manuver-manuver kekinian dari politik kekuasaan. Dalam benak Hitler, bisa jadi pakta Jerman – Rusia mewakili perubahan rencana kerjanya. Di Mein Kampf, rencananya adalah menyerang Rusia terlebih dulu, lalu berikutnya Inggris. Kenyataannya, Inggrislah yang harus dibereskan terlebih dulu, karena Rusia lebih mudah disuap. Rusia akan diurusi setelah Inggris selesai. Begitulah cara Hitler melihatnya. Apakah akan seperti itu jadinya adalah pertanyaan yang lain lagi.
Seandainya angan-angan Hitler berjalan sesuai rencana, sebuah ruang hidup bagi 250 juta orang Jerman yang terbentang sangat luas hingga Afghanistan dan sekitarnya. Sebuah imperium berisi manusia – manusia otak nangka yang tidak ada kegiatan lain selain latihan perang dan melahirkan serdadu – serdadu rendahan. Bagaimana Hitler bisa membuat visi mengerikan itu menjadi kenyataan? Hitler didukung oleh kaum industrialis (Jerman) yang memandang dia sebagai orang yang mampu menyingkirkan kaum Sosialis dan Komunis. Kaum industrialis tidak akan mendukung Hitler seandainya Hitler tidak berbicara tentang sebuah gerakan yang hebat. Situasi Jerman saat itu, dengan angka pengangguran mencapai tujuh juta orang, adalah situasi yang ideal bagi para demagog. Tapi Hitler tidak akan bisa mempecundangi para saingannya tanpa kepribadiannya. Kepribadian yang bisa dirasakan di tulisan – tulisan konyol dalam Mein Kampf dan tentu saja di pidato – pidatonya yang, tidak bisa disangkal, bisa membuai pendengarnya. Sampai di sini perlu saya jelaskan bahwa saya tidak pernah bisa membenci Hitler. Sejak Hitler meraih kekuasaan dan hingga sesudahnya. Saya tertipu dengan pandangan bahwa Hitler bukanlah siapa – siapa. Saya pernah membayangkan saya bisa membunuh Hitler tanpa merasa benci. Ada yang menarik dari orang yang satu itu. Kita bisa merasakannya saat kita melihat fotonya. Saya sarankan melihat foto Hitler di hari – hari awalnya berseragam coklat dari edisi awal terbitan Hurst dan Blackett. Di situ nampak wajah yang menyedihkan, mirip anjing, wajah orang yang didera begitu banyak ketidakadilan. Semacam reproduksi yang maskulin dari berbagai lukisan Kristus yang disalibkan. Besar kemungkinan seperti itulah Hitler memandang dirinya. Kita hanya bisa menduga sebesar apa penyebab pribadi kemarahan Hitler kepada dunia. Dia adalah martir, korban, Prometheus yang terpasung, pahlawan tanpa pamrih yang bertarung mati-matian sendirian. Hitler tahu cara membuat membunuh tikus jadi nampak seperti membunuh naga. Seperti halnya Napoleon, dia merasa sedang melawan takdir dan tidak akan bisa menang, tapi dia tetap layak menang. Sikap itu tentu saja sangat menarik. Separuh dari sekian banyak film yang kita tonton memiliki tema semacam itu.
Hitler juga berhasil memahami kesesatan sikap hidup hedonistik. Hampir semua pemikiran di dunia Barat sejak Perang Dunia Pertama adalah pemikiran “progresif” yang mengasumsikan bahwa yang manusia inginkan tidak lebih dari kemudahan, keamanan, dan terhindar dari rasa sakit. Dalam pandangan semacam itu, tidak ada ruang bagi, misalnya, patriotisme dan nilai adiluhung militer. Seorang sosialis yang mendapati anaknya sedang bermain dengan tentara biasanya akan kecewa. Tapi dia tidak bisa menggantikan mainan serdadu. Menggantikan mainan serdadu dengan mainan aktivis perdamaian pasti aneh rasanya. Dalam pemikirannya yang muram, Hitler mengetahui bahwa manusia tidak menginginkan kenyamanan, keamanan, jam kerja yang singkat, higienitas, kontrol kelahiran, dan akal sehat. Manusia juga menginginkan, paling tidak sesekali saja, perjuangan, pengorbanan diri, apalagi riuh tetabuhan drum, bendera, pawai – pawai. Sekalipun bisa dianggap sebagai teori ekonomi, secara psikologis Fasisme dan Nazisme jauh lebih kuat dibanding konsepsi kehidupan hedonistik yang ada. Hal yang sama juga berlaku bagi Sosialisme versi militer ala Stalin. Semua diktator besar mengembangkan kekuasaan mereka dengan memberikan beban besar bagi rakyat mereka. Sementara Sosialisme dan Kapitalisme menjanjikan “hidup yang baik,” Hitler malah menawarkan “perjuangan, bahaya, dan kematian.” Hasilnya, sebuah bangsa bertekuk lutut di bawah kakinya. Mungkin kelak ketika mereka sudah muak dan berubah pikiran, sebagaimana halnya di perang dunia sebelumnya. Setelah beberapa tahun pembantaian dan kelaparan, “kebahagiaan yang sebesar-besarnya dari sebanyak-banyak orang” terdengar seperti slogan yang baik. Tapi saat ini slogan yang lebih populer adalah “lebih baik mengakhiri dengan horror daripada horror tanpa akhir.” Karena sekarang kita berjuang melawan orang yang menciptakan istilah itu, tidak seharusnya kita meremehkan godaan emosional istilah itu.
Diterjemahkan bebas oleh Onny Wiranda dari:
Orwell, George (2013), Review of Mein Kampf, by Adolf Hitler, unabridged translation, dalam Politics and The English Language (p. 21-24), Penguin book.