Yang saya hormati Pak Ahok.
Kenalkan, Pak, nama saya Onny, warga Timika, Papua. Sekalipun tempat tinggal saya ribuan kilometer jaraknya dari Jakarta, beberapa kali dalam setahun saya pergi ke Jakarta karena urusan pekerjaan atau pribadi.
Selain karena ikut-ikutan tren mengirim surat terbuka, saya ingin cerita-cerita dengan Anda soal Jakarta. Bukan solusi soal macet, banjir, atau penggusuran, bukan juga usulan soal pembentukan “sentra kuliner dan wisata” seperti yang banyak digagas sekarang, tapi soal perkara lain yang mungkin tidak penting bagi banyak orang dan mungkin bagi Anda sebagai Gubernur; Soal nyawa sebuah kota.
Sekalipun ada banyak saudara dan teman di Jakarta, biasanya saya memilih untuk tinggal di hotel di tengah kota Jakarta. Masa jalan-jalan di Jakarta dengan saudara-saudara sudah lama berakhir sejak saya SMA. Hampir semua teman sudah berkeluarga dan tinggal di pinggiran kota atau bahkan di luar Jakarta. Sesekali saja saya datang berkunjung ke rumah saudara atau teman. Sekarang ini saya lebih suka jadi turis lokal, sendirian menjelajahi jalanan ibukota negara, ibu yang tidak kunjung saya kenal dengan baik.
Daerah favorit tempat saya menginap adalah di daerah tengah kota seperti Menteng atau Pasar Baru. Dari situ saya bisa jalan-jalan ke Cikini, Taman Ismail Marzuki, Kemang, atau Pasar Baru, dengan berbagai macam alat transportasi.
Ada perasaan aneh Pak, setiap kali saya ke Jakarta. Antara males dan senang. Males karena macetnya. Sebelum tiba di Jakarta, tubuh saya bahkan sudah merasakan lamanya menunggu bagasi di Bandara Soekarno Hatta, pegalnya duduk di kursi penumpang dalam mobil yang terjebak macet di Tol Karang Tengah atau di Rasuna Said.
Senangnya, karena ada begitu banyak hal yang bisa saya lihat, jumpai, dan pikirkan di Jakarta. Kota ini punya sejarah yang panjang dan membekas dalam di setiap sudut wilayahnya. Perasaan semacam itu tidak bisa saya dapatkan jika saya bepergian dengan teman atau saudara, yang pasti akan langsung mengajak ke mal.
Hampir semua mal di Jakarta sudah pernah saya kunjungi. Mulai dari Grand Indonesia, Mal Kota Casablanca (yang diindonesiakan jadi Kasablanka. Sungguh ahistoris) Atrium Senen, hingga Pluit Mal. Di sana saya bertemu dengan teman, melihat-lihat dan membeli berbagai macam barang, minum kopi, dan mengamati pengunjung mal, khususnya mbak-mbak Jakarta yang sering membuat saya hilang konsentrasi. Di dalam mal itu saya merasa hilang, merasa jadi orang asing di kota tanpa sejarah, yang identik dengan kota manapun di Indonesia dan di dunia ini,
Saya pernah menginap di sebuah hotel yang cukup bagus di daerah Serpong. Kota mandiri di barat Jakarta yang jadi simbol berkembangnya sebuah kelas menengah Indonesia, jalanan luas, mal besar, rumah sakit internasional, toko mobil mewah. Suatu pagi usai sarapan saya nongkrong di teras ruang makan dan memandangi jalanan pusat kota baru itu. Usai nongkrong saya putuskan untuk pindah hotel di Pasar Baru, Jakarta Pusat. Teman seperjalanan saya langsung tersenyum sinis ketika saya bilang mau pindah. Mau cari hiburan malam, kah? Tanyanya.
Seperti itulah, Pak, kesan yang sering saya dapatkan setiap kali menyebutkan daerah di Jakarta pusat. Jakarta yang sebenarnya sekarang malah dikenal sebagai Jakarta-yang-tidak-semestinya, wilayah Jakarta yang tidak ada mall besar dan karenanya tidak oke, banyak tempat hiburan malam macam Malioboro atau Classic yang karenanya cuma pantas didatangi diam-diam lalu ditinggalkan begitu saja di dini hari.
Mungkin cuma wisatawan mancanegara saja yang suka tinggal di daerah Pasar Baru. Ada yang sedang transit dari berbagai daerah tujuan wisata di Indonesia atau memang sengaja ingin pelesir di Jakarta. Yang dimaksud Jakarta itu cuma daerah Kota Lama Jakarta dengan berbagai museumnya. Sepasang bule Prancis yang saya ajak ngobrol di depan minimarket terkesan seperti kagol dengan Jakarta, yang ternyata sangat tidak turistik. Usai ngobrol, mereka berjalan ke arah Pasar Baru. Mungkin untuk cari bir dingin yang sekarang susah didapat atau mungkin ke Museum Fatahillah di utara Pasar Baru. Jalan-jalan dan foto-fotoan lalu kembali ke hotel dan merasa kesepian. Besok paginya mungkin mereka memutuskan mempercepat jadwal perjalanan mereka ke daerah lain di Indonesia atau ganti tujuan ke Bangkok atau Hanoi.
Di Bangkok atau Hanoi, mereka akan langsung menemukan Khao Sanh dan French Quarter, lalu menghabiskan sore di tepi sungai Chao Praya dan Danau Hoan Kiem. Di dua daerah yang sebenarnya tidak berbeda dengan Pasar Baru, Kota Lama Jakarta, atau Kota Lama Semarang dan Surabaya mereka merasa lebih merasa disambut oleh Asia Tenggara, bukannya disambut dingin oleh kota yang hanya memikirkan uang. Bisa ke museum lalu ngadem di sebuah cafe sederhana sambil minum bir dingin membaca buku yang dibeli dari sebuah toko buku bekas, berbagi cerita dengan warga setempat dan pelancong lainnya.
Benar Pak bahwa ada Kota Lama dan Jalan Jaksa. Tapi saya yakin Jakarta tidak cukup diwakili oleh sepenggal daerah dan jalan. Kota sebesar Jakarta memiliki banyak daerah yang bisa dikembangkan jadi daerah wisata, yang dekat dengan sejarah Jakarta. Sudah saatnya pula Pasar Baru dikembangkan, jadi poros Kota Lama-Jalan Jaksa-Pasar Baru yang semuanya bisa ditempuh dengan jalan kaki (kalau kuat) atau transportasi umum.
Bapak bisa bayangkan, gedung-gedung tua yang saling berdempetan di Pasar Baru dipenuhi cafe, toko buku, hotel, dan para wisatawan yang baru saja dikejar komodo di Pulau Komodo, treking di Rinjani atau Danau Toba, menyelam di Raja Ampat, dan banyak cerita lainnya. Itulah Jakarta yang sebenarnya, Pak. Kota yang menerima dan berbagi kisah hidupnya dengan pelancong dari Indonesia sendiri dan berbagai belahan dunia, bukan kota yang hanya menerima orang-orang kaya dan menawarkan kehidupan dan barang-barang mewah melalui iklan di televisi.
Jakarta bukan Singapura, KL, atau Dubai yang berkilau dalam kekinian mereka. Jakarta adalah saudara sepantaran Hanoi dan Phnom Penh, sesama ibu yang sudah menyaksikan banyak perang, percintaan, pengkhianatan, dan pengharapan. Walah, melankonli habis. Hehe. Maklum pak, ini saya nulisnya di sebuah cafe di Mall Kemang Village bersebelahan dengan segerombolan Mbak-mbak yang lagi ngobrol dengan asyiknya.
Bisa juga, Pak, kalau Pasar Baru ini di-Pasar Santa-kan. Pasar yang awalnya tidak banyak berbeda nasibnya dengan pasar-pasar lain di Indonesia. Pasar Santa sekarang tidak lagi kumuh, becek dan melulu jualan sembako. Pasar Santa sekarang jadi tempat ekspresi kreativitas anak-anak muda. Para pedagang sayur mayur dan toko kelontong berdampingan dengan penjual rekaman Vinyl, kaos, toko buku dan warung kopi milik anak-anak muda. Suasananya kayak di Kemang atau Tebet atau gitu lah, Pak. Istilah kerennya, Pasar Santa mengalami gentrifikasi. Sama halnya seperti yang terjadi dengan Cikini pada tahun 1990-an, daerah Soho di New York, atau Tiong Bahru di Singapura.
Proses gentrifikasi ada untung ruginya. Yang paling jelas, pedagang-pedagang asli bisa tergusur dengan pola perdagangan baru dan nilai tempat yang meningkat. Tapi di tangan Pak Ahok, yang sudah terbiasa dengan revitalisasi sungai dan penggusuran (sekalipun benernya saya agak kurang setuju dengan kekerasan yang terjadi di Pulo), mengubah Pasar Baru sebagai daerah wisata pasti bisa dilakukan.
Di masa depan, saya bisa nongkrong di sebuah cafe di Pasar Baru, ngobrol dengan mbak-mbak dari Spanyol soal sejarah kelam dan keemasan Jakarta dan seorang gubernurnya yang akrab dipanggil Ahok.
Itu saja, Pak Ahok, yang ingin saya ceritakan. Saya tahu Anda ga suka rapat, apalagi nongkrong dengerin orang nerocos soal Jakarta, orang dari Papua pula. Hehe.
Sukses selalu, Pak.
Pingback: What the Mainstream Media Probably Won’t Tell You about the Protests against Ahok | Dipa Nugraha