Halimun yang menyelimuti langit Mimika pagi itu tak kunjung sirna juga. Untunglah ini bukan perjalanan ke dataran tinggi. Peralatan navigasi yang paling canggih dan pilot yang nekad pun tidak akan bisa menaklukkan pegunungan tengah Papua.
Kurang lebih 20 menit kemudian helikopter kami mulai mencapai tujuan. Pilot mulai mencari lokasi pendaratan. Jalanan kampung mulai dipenuhi anak-anak yang girang melihat helikopter. Kami langsung berlompatan keluar dari helikopter disambut deru angin kencang dari helikopter dan rumput yang basah. Di sekeliling kami sudah banyak orang. Tidak lama kemudian helikopter langsung melanjutkan perjalanan ke Akimuga.
Yang turun di Jita antara lain; aku dan Bu Vonny dari Biro Pendidikan LPMAK, Pak Paul dari Yayasan Binterbusih Semarang dan Bu Linda dari SMU Lokon Manado.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, kami mendatangi beberapa sekolah di daerah pedalaman untuk melakukan rekrutmen peserta beasiswa LPMAK. Menurut informasi dari Kepala sekolah SMPN Jita, ada 12 siswa kelas 3 di Jita yang kiranya bisa ikut rekrutmen beasiswa LPMAK.
Setiba di rumah Pak Donatus untuk menaruh barang-barang, kami diberitahu bahwa beberapa anak kelas 3 sudah pergi ke Sumapro, kampung sebelah yang jaraknya kira-kira dua jam perjalanan lewat sungai. Beberapa lagi sudah ke Timika menumpang pesawat. Ada juga yang ke Akimuga mengikuti acara peresmian gereja. Sisanya hanya ada 3 anak saja. Itu pun masih harus dicari.
Akhirnya kami putuskan untuk menunda tes hingga keesokan hari. Sekalian memberi waktu bagi seorang guru yang pergi berangkat ke Sumapro untuk mencari anak-anak. Setelah disepakati demikian, rombongan kami mengatur barang-barang bawaan di rumah pak guru. Di saat seperti itu, kami akan mendapatkan banyak sekali informasi dari masyarakat. Dan inilah beberapa hal tentang Jita yang sempat aku catat:
Jita adalah distrik paling timur di wilayah dataran rendah Kabupaten Mimika. Perjalanan dua jam dengan speedboat ke arah timur kita sudah akan tiba di Agats, Asmat. Kampungnya cukup bersih. Bahkan bisa dibilang asri, karena hampir di sepanjang jalan kampung dihiasi oleh tanaman hias. Jalannya juga tidak becek. Mungkin karena ada parit di kedua sisi jalan.
Bukan hanya orang Kamoro yang tinggal di Jita. Orang Amungme dan Nduga juga banyak yang tinggal di Jita. Menurut cerita, mereka adalah orang-orang Amungme yang meninggalkan Akimuga pada masa konflik tahun 1974-1975. Ada seseorang yang menuturkan, dengan menurunkan nada suaranya, bahwa orang-orang Amungme di Jita adalah orang-orang hutan yang kurang suka dengan pemerintah Indonesia. Aku pernah dengar ungkapan semacam itu, lebih halus malah, seperti “saudara-saudara kita yang tinggal di hutan”.
Dari rumah pak guru nampak kantor distrik yang sepertinya masih baru, pos tentara 754/Eme Neme Kangasi, kantor Koramil Jita, dan dua buah bangunan sekolah. Satu buah bangunan sekolah nampak sudah tidak terawat, satu lagi masih nampak bagus.
Di SD itulah, Pak Donatus bertugas sebagai guru sekaligus menyandang jabatan Kepala Sekolah SD dan SMP sekaligus sementara karena katanya Pak Kepala Sekolah sedang sakit. Pak Donatus dibantu beberapa bu guru muda yang penuh semangat, antara lain Bu Juwita dan Bu Marlin.
Keesokan harinya, beberapa anak dari Sumapro dan dari Jita sendiri sudah berkumpul di sekolah. Tes penerimaan beasiswa LPMAK akhirnya bisa dimulai. Sementara tes, aku dan Bu Vonny berjalan melihat-lihat bangunan SD dan SMP.
Di halaman SD, Bu Marlin rupanya sedang mengumpulkan anak-anak SD di depan sekolah untuk kerja bakti. Anak-anak itu berlarian dari arah kampung sambil membawa parang. Uniknya, ada satu anak perempuan yang membaw a buku dengan warna cerah yang sepertinya aku kenal. Ternyata benar, anak itu membawa Buku Pengharapan, buku sekolah minggu yang juga sedang aku bagikan di Timika. Buku itu kiriman dari seorang teman di Makassar.
Menurut Bu Marlin, dia juga mendapatkan buku itu dan mengedarkannya untuk anak-anak di Jita. Dari buku itu, selain belajar agama, anak-anak juga terbantu belajar membaca. Guru juga memiliki semacam media yang lebih mengena bagi pengajaran anak-anak. Kenapa lebih mengena? Tanyaku pada bu guru yang sudah mengajar sejak tahun 2005 itu. “Karena anak-anak suka gambar dan kisah-kisah yang diceritakan,” kata Bu Marlin.
Media belajar memang masalah tersendiri di sekolah pedalaman di Papua. Sering sekali aku melihat sekolah yang sebenarnya memiliki buku dan alat peraga yang lumayan, tapi karena konteks dalam buku-buku pelajaran kurang nyambung dengan konteks di Papua; guru jadi ragu mengajar, murid jadi seret ilmu. Kalau Anda bilang bahwa sebenarnya dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang sudah ditetapkan pemerintah, guru mestinya harus lebih kreatif, Anda perlu melihat penerapannya di sekolah-sekolah seperti di Jita ini.
Di Jita ini, modal awal sebenarnya sudah cukup, dengan adanya guru-guru muda yang bersemangat seperti Bu Marlin dan Bu Juwita. Tapi tanpa dukungan buku dan media belajar yang sesuai dengan konteks Papua maka tugas guru-guru itu akan semakin berat.
Di perpustakaan SMP Negeri Jita misalnya, tumpukan buku di rak ternyata lebih banyak diisi buku-buku umum dan buku pelajaran untuk Kejar Paket A dan B. Aku tidak sampai hati bertanya soal dana BOS yang mestinya bisa digunakan untuk beli buku. Seharusnya para pengawas sekolah yang mampir ke sekolah ini dan para pembuat kebijakan pendidikan di Jakarta sana yang berpikir bahwa guru dan buku yang berkualitas jauh lebih berharga bagi masyarakat katimbang gedung dan seragam merah putih.
Di akhir obrolan, Bu Marlin menitipkan pesan kepadaku untuk mendapatkan buku pengharapan, khususnya buku pegangan guru. Bu Juwita juga meminta hal yang sama. Aku jadi sungkan. Lha wong yang di Timika, aku belum tahu pasti apakah buku yang sudah aku bagi ke beberapa teman itu sudah efektif terpakai atau belum.
Usai tes penerimaan beasiswa LPMAK, langit Jita kembali diselimuti halimun. Anak-anak SD dan SMP mulai pulang ke rumah masing-masing. Semoga mereka masih bisa meraih masa depan sekalipun kabut menutup jalan mereka.
Kereeeennnn..
Kurang lebih sebulan setelahnya saya juga ke Jita mengikuti kegiatan peresmian 7 (tujuh) Gereja di Distrik Jita..
Kami mendapati kondisi yang sama seperti yang diceritakan diatas tapi semangat orang disana begitu luar biasa terutama dalam menyambut kegiatan keagamaan..
Terimakasih penulis karena sudah membagikan cerita ini…
terimakasih thyan. begitulah kondisi di Jita.
Saya seorang putra asli Jita melihat kondisi Distirk yang seperti ini sangat perihatin, karena apa……? bukannya maju tapi malah merusak kondisi kampung. Sebelum Jita menjadi distrik kegiatan aktivitas proses belajar mengajar berjalan sesuai dengan yang diharapkan, guru-guru juga selaluh ditempat. Tapi setelah jadi distrik malah kebalikan/merusak kondisi di distrik jita, maka itu saya berharap siapapun yang bertugas di jita tolong kerja sesuai dengan harapan masyarakat, yangan mengecewakan masyarakat terutama dalam hal pendidikan dan kesahatan.
halo yunias. salam kenal. semoga nanti yunias lah sebagai putra jita yg bisa memperbaiki keadaan jita…
Ok Onny slm knl jg brow
Hai..Pak Onny. senang sekali bisa baca tulisan tentang Jita walau setelah satu tahun ..saya jadi rindu ke Jita lagi, tahun lalu saya janji ke Ibu juwita untuk bawa baju bekas buat anak-anak .sayang tahun ini saya tidak ke Timika…
Halo Bu Linda… Wah, kenal dengan Bu Juwita rupanya. Saya sdh lama tdk bertemu Bu Juwita. Kalau ketemu akan saya sampaikan salamnya. 🙂
Mksh atas perhatiannya, GBU.
Mksh atas perhatiannya, GBU.