Paskah kali ini akhirnya aku bisa memenuhi janjiku dengan Pak Anton Mipitapo untuk ikut misa di Hiripau, dan bisa lihat meriahnya perayaan komuni pertama (di sini istilahnya sambut baru).
Sebelum misa Paskah kedua dimulai, sudah banyak orang berkumpul di halaman gereja Santo Mikael Hiripau. Umumnya para orang tua anak-anak yang akan dibaptis. Tidak lama kemudian datanglah beberapa mama-mama datang membawa rok rumbai-rumbai yang akan dikenakan waktu menari. Mereka itu yang kemudian mengiringi ritus pembuka misa saat Romo Teguh maju ke altar.
|
From Ayuka – Hiripau |
From Ayuka – Hiripau |
Di saat persembahan, mereka kembali menari mengiringi petugas yang membawa persembahan ke depan. Mama-mama yang datang terlambat dan anak kecil juga ikut menari. Sebagian ikut mengiringi persembahan, sebagian lagi yang duduk di deretan bangku paling belakang. Padahal sebelumnya, baik mama-mama maupun bapak-bapak dan remaja, pada duduk membisu.
Mungkin bagi orang Kamoro, memuliakan Tuhan adalah menjadi satu dengan ritme lagu alam. Melihat mama-mama itu bergoyang, aku jadi ingat riak sungai Wakia dan air payau yang terjebak di akar pohon mangi-mangi (bakau). Liturgi yang didatangkan dari Barat bagi mereka mungkin seperti sungai yang sedang surut airnya.
Aku sendiri dulu paling sering kabur dari gereja. Sampai sekarang aku masih ingat sekali bagaimana Papa menegurku karena aku kabur dari gereja tepat sebelum komuni. Padahal aku baru saja menerima komuni pertama. Bagiku saat itu (dan kadang saat ini juga sebenarnya walaupun sudah semakin jarang), liturgi adalah tirai yang malah memisahkanku dari diriku sendiri dan Tuhan.
Seperti itulah keadaannya di Ayuka. Di kampung yang terletak kurang lebih 10 km dari Mapurujaya ini, misa Sabtu Suci berlangsung dengan aneh. Tidak satu pun petugas misa yang siap dan sepertinya tidak ada satu orang pun di dalam ruangan itu yang ngeh bahwa mereka sedang memperingati kebangkitan Kristus. Entah apa yang membuat bapak-bapak itu mengenakan kemeja batik mereka dan berangkat ke gereja.
Menurut Pak John Nakiaya, penasehat Sekretaris Eksekutif LPMAK dan tokoh masyarakat Kamoro, proses inkulturasi gereja di Mimika memang masih dirasa kurang. Apalagi jika dibandingkan dengan yang terjadi di Asmat, suku yang masih serumpun dengan suku Kamoro. Inkulturasi gereja dengan budaya Asmat membuat orang Asmat merasa menjadi bagian utuh dari gereja dan liturgi, bukan hanya pengisi bangku gereja.
From Ayuka – Hiripau |
Untungnya, bagi Romo Teguh, keunikan sifat orang Kamoro di Ayuka tidak membuatnya kapok tapi justru tertantang. Menurut Romo Teguh, pelajaran inkulturasi budaya Mee di dataran tinggi Paniai perlu dikembangkan juga buat orang Kamoro. Romo Teguh merasa tertantang untuk memasukkan unsur-unsur budaya Kamoro dalam liturgi, seperti iringan pukulan tifa.
ternyata disini to, tempat persembunyiannya…..
bagus blognya di update, nga kaya blogku sudah jadi sarang laba-laba2 😀
oyi…makanya om, jangan sampe pekerjaan mengalahkan hobi…hihihi…