Si Kecil Ducroo

Leave a comment
Buku / Keluarga

Kisah mengenai masa kecilku ini dimulai dari beberapa fakta yang aku temukan dari orang tuaku. Dokumen tertulis pertama yang aku temukan mengenai masa kecilku adalah sebuah salinan yang sudah menguning dari Bataviaasch Nieuwsblad, yang memuat pengumuman kelahiranku. Pada halaman utama, terpampang sebuah artikel mengenai Perang Boer (di Afrika Selatan); “Kaum Boer meneruskan pengepungan mereka atas Ladysmith, dan terus mendekatinya.”

Aku dilahirkan bersamaan dengan perayaan arwah tahun 1899, pada hari Kamis pukul 13.45 sore hari. Dua belas tahun sebelumnya, mama pernah mengalami kesulitan saat melahirkan adikku, Otto. Saat mengandung diriku, mama sudah lebih tua dan lebih memperhatikan kesehatan. Dokter yang menangani mama mencoba membuatku “tetap kecil”. Dokter itu meminta mama melakukan diet ketat supaya dia dapat senantiasa mengecek perkembangan tulangku di dalam kandungan mama. Kini rasanya metode semacam itu sudah tidak dilakukan lagi. Tapi dalam kasusku, dokter itu berhasil mencapai hasil yang dia inginkan. Aku dilahirkan dengan berat enam pon. Namun ajaibnya, dalam perkembangan tubuhku, tinggi badanku malah melebihi kedua tinggi badan kedua orang tuaku. Hidungku besar sekali. Mungkin karena ada lebih banyak daging daripada tulang di dalamnya. Ayah jadi takut sekali dengan hidung besarku itu, sampai dia meminta dokter untuk menghilangkan kelebihan hidung, atau untuk menanyakan dari mana datangnya kelebihan itu.

Aku dilahirkan di kamar pandjang di Gedong Lami, di paviliun utama yang menhadap ke sungai. Proses kelahiran diriku sangat menyusahkan ibu dan membuatnya harus mengalami perawatan setelah melahirkan diriku. Ibu percaya bahwa satu-satunya cara untuk membuatnya tetap hidup adalah dengan minum anggur merah dengan es. Dokter yang menangani adalah orang yang “manis”. Namanya Wittenrood, yang selalu dieja oleh para suster dengan wit en rood (putih dan merah). Ibu tidak mampu memberiku susu, bahkan susu kaleng, atau krim gandum. Setelah dua hari mereka berpikir bahwa aku pasti akan mati. Ayah kemudian mengirim beberapa orang untuk mencari seorang perempuan di sekeling perkebunannya yang mau menjadi ibu inang bagiku. Tapi tidak seorangpun muncul di rumah. Mungkin karena para penduduk di sekitar perkebunan ayah pada takut dengan ayah atau dengan rumah kami, atau mungkin juga karena mereka begitu benci dengan ayah. Dua dan tiga orang kemudian dipaksa datang ke rumah, tapi mereka terlihat begitu kotor dan enggan, hingga ibu dan ayah memutuskan untuk tidak terlalu memaksakan diri mencari mama inang demi kebaikan diriku. Akhirnya, saat aku semakin pucat dan kurus dan kedua orang tuaku hanya bisa memandangiku sambil bersedih, Niah datang. Niah adalah seorang perempuan dari desa Kebon Dalem. Saat itu Niah membawa serta Tjemplo, yang sedang sibuk menyusu kepada Niah, dan yang kemudian menjadi saudara inangku. Menurut mama, Niah adalah perempuan yang “suka tertawa genit dan memiliki payudara indah”. Ingatanku atas Niah baru tersusun secara jelas akhir-akhir ini berkat bantuan pengalaman dan gambar. Dia adalah perempuan berperawakan dan berparas namun wajahnya kadang terlihat lugu sekali, dengan mata yang sayu serta mulut yang membersil. Wajah Tjemplo, anak Niah dan saudara inangku, begitu mirip sekali dengan wajah ibunya. Aku masih ingat saat dia masih berumur delapan tahun dan tersenyum ramah sekali kepadaku. Alima datang ke kehidupanku saat aku masih berumur empat bulan.

Aku masih berumur delapan belas bulan saat keluargaku tinggal di Sukabumi. Saat itu aku nyaris mati akibat diserang demam. Serangan demam itu disebabkan oleh letusan Gunung Kelud. Sepanjang hari kota Sukabumi diguyur hujan abu. Orang tuaku tinggal di rumah kediaman Patih. Kebetulan istri sang patih adalah kawan baik mama. Mereka semua mengira aku akan mati dan sudah tidak ada lagi yang bisa dilakukan. Menurut dokter, aku terserang meningitis. Mama dan istri Patih kemudian memberi aku suntikan urus-urus. Beberapa jam kemudian penyakit itu hilang dari tubuhku. Saat dokter datang lagi di sore hari, aku sudah bisa tertawa-tawa di hadapannya. Dokter itu kemudian bersikukuh dengan penjelasan bodohnya atas kesembuhanku menganggapnya sebagai sebuah keajaiban. Rasanya ada yang salah dengan narasi saya ini. Sebuah rekoleksi yang keliru. Karena yang diceritakan mama saya sebenarnya berkaitan dengan kisah serangan penyakit yang lain. Ketika kami di Sukabumi, seorang dokter berjanggut mirip kambing yang bernama De Haan (artinya; Ayam Jantan) –nama yang cukup mengesankan– memberiku obat pencahar yang pada awalnya terasa enak namun setelah habis diminum rasanya begitu memuakkan. Aku muntahkan keluar semua obat itu sebelum obat itu mulai bekerja di dalam tubuhku. Kepalaku rasanya mau pecah, begitu banyak perempuan Sunda yang keluar dan masuk secara terburu-buru. Kali itu mama tidak sependapat dengan cara dokter menangani diriku. Tapi peristiwa itu sebenarnya terjadi empat tahun kemudian, saat kami akan bepergian ke Teluk Pasir.

Pintu yang terbuka itu merupakan pintu masuk ke sebuah kamar yang gelap yang bakal berujung di kamar pandjang. Seberkas cahaya terlihat datang dari kamar lain. Alima menggendongku menggunakan selendang ke sana ke mari, ke dalam kamar penghubung yang gelap itu, dan melalui pintu yang terbuka. Badan Alima yang kecil dan kurus, terasa begitu berbeda dengan badan mama yang besar. Aku mulai mengantuk dan mendaratkan kepalaku di dadanya, Alima mulai menyanyi “Dung indung, si toetoet bobo…”, lagu yang dimodifikasi dari lagu “Nina Bobo” yang kondang itu. Rupanya, Alima telah memberiku nama kecil, “si kecil toetoet”. Sedangkan dia sendiri menjadi Ma Lima. Seperti halnya di Batavia, huruf “a” di akhir kata diucapkan menjadi “e” yang lembut. Selain di lagu itu, Ma Lima juga muncul di lagu lain yang sudah dimodifikasi, seperti:

Burung kakatua
Mentjlok di djendela
Ma lima sudah tua
Giginja tinggal dua

Serta lagu lain yang pernah aku dengarkan di Cicurug. Dibandingkan Burung Kakatua, lagu yang ini nuansanya lebih sedih:

Ular kili, ular kumbang
Kumbangnya djamur
Ma lima gede utang
Ditagih, mabur

Kedua lagu itu tidak akan aku lupakan. Kedua lagu itu adalah lagu yang paling menyentuh di masa kecilku. Aku tidak pernah tertawa saat mendengarkan kedua lagu tersebut, sekalipun sosok Ma Lima muncul di kedua lagu tersebut dalam peran yang lucu. Kedua lagu itu memang bulan lagu lucu, tapi lagu yang sedih dan melankolis, sejenis lagu yang akan kamu nyanyikan saat patah hati.

Saat aku berusia empat tahun dan tinggal di Cicurug, beberapa kali Alima hendak pergi dari rumah. Suami Alima datang dari Batavia dan memaksa membawa Alima ke Batavia bersamanya. Namanya Djimbar. Wajahnya serius dan dihiasi kumis warna abu-abu. Sosok si Djimbar ini agak berbeda dengan sosok orang pribumi pada umumnya. Mirip pembantu rumah tangga, tapi juga mirip mandor. Dia selalu membawa serta sebuah tongkat. Mama selalu memperlakukan Djimbar dengan penuh hormat. Aku senang dan juga menaruh hormat pada Djimbar, karena dia selalu membawakan aku oleh-oleh. Tapi aku juga menaruh curiga padanya, karena selalu ada kemungkinan dia akan membawa Alima pergi dariku.

Suatu sore, Alima menangis tersedu-sedu dan Djimbar pergi meninggalkan rumah sambil marah. Alima telah memutuskan untuk tetap tinggal dan merawat diriku. Aku menduga bahwa sebelumnya mama membujuk Alima supaya tetap tinggal, “kamu tidak akan meninggalkan si kecil Toetoet khan, Alima?” Yang kemudian dibalas dengan pembantu yang sudah tua itu, “tidak nyonya, jangan khawatir”. Sore itu Alima terus menangis, menolak ajakan suaminya, pria yang penuh harga diri itu. Beberapa tahun kemudian, Alima kembali bersedih. Kali itu karena berita kematian Djimbar suaminya. Anak Alima, Djasima, datang ke rumah kami menemui Alima untuk meminta uang ongkos penguburan. Alima kemudian memberinya sejumlah uang dan mengajaknya bicara Djasima dengan sikap yang tidak pernah aku lihat sebelumnya. Sekalipun demikian, Alima tidak pergi mengunjungi penguburan suaminya.

Aku masih menyimpan foto diriku bersama dengan Alima, mungkin setahun sebelum kematiannya. Saat itu aku sudah sedikit lebih tinggi darinya. Mama kemudian menunjukkan foto Alima yang sudah diperbesar. Foto itu menunjukkan sosok Alima saat aku masih kecil sekali dan belum bisa mengenalinya secara sadar. Foto yang diperbesar itu terlihat buruk, tapi menurut mama paling tidak foto itu menunjukkan dengan jelas sosok Alima saat baru pertama kali mulai bekerja bagi keluarga kami. Kata mama padaku, “Foto ini jangan dibuang. Perempuan ini meninggalkan suami dan keluarganya demi kamu”.

Sumber: Eduard du Perron (1999), Country of Origin, Periplus: Singapore. Lihat bagian 7; Child Ducroo.

Profil penulis
Eduard du Perron. Dilahirkan di Meester Cornelis, Jatinegara, 2 November 1899, dari keluarga keturunan Prancis. Dalam novel autobiografinya ini, Country of Origin (Tanah Asal Usul), E. du Perron melukiskan potret ibunya sebagai seorang “nyonya besar” yang mengurus segala seuatu dari serambi belakang. Selain menulis dan berkegiatan dalam dunia sastra, E. du Perron juga banyak membantu kalangan nasionalis awal Indonesia.

The Author

Sementara ini tinggal di Timika, Papua

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s