Cahaya

Leave a comment
Papua

Aku tercenung memandang foto yang menghiasi laporan tentang pementasan teater Lugid di majalah Tempo. Kecepatan shutter membuat kamera menjadi begitu sensitif dengan cahaya, yang sangat minim dan datang dari tempat yang jauh, dari atas panggung. Diafragma yang besar membuat detail gunungan yang dipegang Mbah Kawit masih dapat terlihat dengan jelas. Aku bisa membayangkan perasaan bahagia sang fotografer melihat hasil jepretannya. Perasaan bahagia yang dikeluarkannya dengan seuntai senyum dan tarian ibu jarinya di badan kamera. Seperti mengelus kepala anaknya. Ini mungkin akan jadi pembicaraan tentang cahaya. Baiklah.
Di sini di Papua terasa benar bahwa cahaya adalah sebuah warta kehidupan. Di Aroanop kemarin aku memegang erat kameraku ketika serombongan anak kecil membakar kertas-kertas dari setumpuk koran yang kami bawa dari Timika. Mereka berlarian di sebuah jalan menurun yang menghubungkan gereja dan lapangan voli. Tidak ada seorang pun di antara kami yang menyadari bahwa yang dibakar anak-anak itu adalah kertas koran. Di lapangan voli mereka membuat api unggun. Memasang api, kalau dalam bahasa Indonesia dialek Papua. Sedangkan aku duduk di beranda rumah Simson, pemuda Dayak Iban yang mengabdi sebagai guru di Aroanop, ditemani sebatang lilin yang pendarnya membuatku yakin bahwa dunia dan manusia punya kekuatan menyembuhkan diri yang luar biasa, seberapun lemah nampaknya.
Di panggung pementasan lakon Tuk yang dibawakan teater Lugid cahaya dipaksa untuk bekerja sama dengan tata panggung. Sementara di deretan bangku penonton, selalu ada satu atau dua orang yang mencoba menangkap hasil kerja cahaya di tubuh para pemain, gerakan tubuh, ekspresi wajah, tata panggung, dan mungkin keserasian semua unsur di dalam panggung. Para penonton akan menikmati hasil dari tata cahaya yang bagus, para awak panggung yang menjadi penonton akan mengamati benar tata cahaya, para fotografer akan mengeluarkan kemampuan terbaik mereka untuk memanfaatkan cahaya yang sudah ditata itu. Dari semua pihak di dalam ruang pementasan yang saya sebutkan itu, mungkin hanya fotografer yang mengakui harkat cahaya.
Sedangkan dari semua orang yang hadir malam itu di Aroanop, di kala anak-anak kecil bermain api, tidak seorang pun di antara kami yang tidak mengakui harkat cahaya, tapi tidak seorang pun di antara kami yang berada di luar cahaya. Kami semua berada di satu sisi dengan cahaya. Berhadapan dengan kegelapan tanpa deretan bangku penonton. Kecuali mungkin beberapa ekor kus-kus dan zuangi, roh penghuni hutan yang membuatku tidak berani ke kamar mandi di malam hari.
Agaknya aku saat itu di Aroanop, dan hingga kini sepertinya, tidak mampu, seperti yang dijelaskan Goenawan Mohammad, untuk “mengerahkan seluruh kemampuan bahasa untuk menggambarkan sesuatu yang tak mungkin tergambarkan”. Aku juga tidak segera menyesuaikan kecepatan dan diafragma kameraku. Benda itu teronggok begitu saja di pangkuanku. Di sini aku kerap meminta diri di hadapan warta kehidupan, sebelum menyimpannya dalam kameraku; dan kerap kali pula aku memposisikan diri sebagai penonton, yang tidak punya keperluan membuat rekaman gambar atas sebuah peristiwa.
Seandainya kamu memotret anak-anak itu dan kemudian menunjukkan hasilnya kepadaku, aku akan merasa bahwa itu juga hasil jepretanku. Bahwa aku juga ikut menentukan seberapa banyak cahaya yang perlu ditangkap, dan dibagikan kepada semua orang.

The Author

Sementara ini tinggal di Timika, Papua

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s