Di Ngurah Rai, Kamu di Ubud

Leave a comment
Catatan Perjalanan

Ngurah Rai ramai sekali malam ini. Mungkin karena musim liburan. Beberapa rombongan bule datang. Kalau datang siang hari mungkin yang terlihat rombongan turis domestik.

Mas Budi masih saja sibuk menelfon seseorang. Mungkin pacarnya. Mas Budi ini kerja di Trakindo. Selama 4 bulan dia sibuk bekerja di Tembagapura. Setelah itu pulang ke Jombang.

Tadi di dalam pesawat dan di depan selasar terminal kedatangan aku berpapasan dengan dia, yang membawa satu tas jinjing besar dan sebuah tas. Awalnya aku kira dia pemain bulutangkis. Kita baru ngobrol setelah dia kehabisan kursi di KFC dan akhirnya terpaksa memutuskan untuk duduk sebangku denganku.

Awalnya ya seperti ini. Aku cuekin dia sambil makan nelpon kamu. Setelah aku selesai nelpon kamu baru aku ngobrol ma dia. Modelnya kaya siapa ya, kaya Ipul. Haha. Kamu ga kenal ya sama temenku yang satu ini. Anaknya kurus dan kulitnya putih. Kalau bicara sopan sekali.

Tanggapannya soal Timika menambah kesan-kesan buruk soal Timika yang aku kumpulkan dari beberapa teman. “Timika itu..kan dataran rendah, ya, Mas, banyak malarianya…” Mungkin mukaku juga langsung ‘nglukru’ kaya katanya Ope pas di Yogya kemarin. “Jelek kotanya…kotor…”. Halah…

Tapi begitu dia bilang tinggal di Tembagapura, langsung aku cecar balik dengan rangkaian pertanyaan standar; seperti apa kotanya, bagaimana tempat tinggalnya, bagaimana makanan di sana, fasilitas apa saja yang ada.

Lalu dia jelaskan panjang lebar; mulai dari makan gratisnya, asrama tempat tinggalnya (sekamar empat orang…beh…), kolam renangnya (yang air hangat), dua jam dari Timika, dinginnya Tembagapura, sampai jas hujannya yang dia kenakan setiap turun hujan (kegiatan penambangan baru berhenti jika kabut menguasai gunung), dan diakhiri dengan kartu pas Freeport yang tunjukkan.

Selain untuk absensi dan tanda masuk area Freeport, kartu itu biasa dia gunakan untuk ke Perpustakaan. “Cari hiburan, Mas” katanya. Hiburan yang dia maksud itu ‘pinjam film’, ‘internetan tapi dibatasi’. Sama sekali dia tidak menyebut soal buku. Aneh.

Haduh. Barusan dia mampir dan mungkin sempat baca tulisan ini. Aku cuma komentar ‘linux…bebas razia..hehe…’ sambil gelagepan cari shortcut windows + d, pas dia nanya “opo iku?”. Padahal sebelumnya dia pamit untuk menjauh mencari tempat yang lebih enak untuk ngobrol di telepon. Dia baca ga, ya?

Sekarang dia menjauh lagi. Bangku panjang ini aku kuasai. Di bangku panjang lain sudah ada orang yang tiduran. Mungkin setelah ini aku akan tiduran juga. Sambil mendengarkan alunan gamelan Bali yang dari tadi rasanya ga ada jedanya, bunyi terus. Dan membayangkan kamu di Ubud sedang nongkrong di sebuah cafe atau di rumah seorang seniman atau pakar Yoga, ngobrol-ngobrol soal keseimbangan hidup dan titik nyaman dari Atheisme-mu itu. Capek kan dalam kondisi marah sama tuhan terus?

Mungkin sama capeknya seperti aku sekarang ini. Apalagi setelah kopiku yang belum habis sudah diambil sama penjaga kios, karena kiosnya akan tutup.

The Author

Sementara ini tinggal di Timika, Papua

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s