Catatan Nonton Pembacaan Puisi FSS 2008

Leave a comment
Catatan pertunjukan

Setelah beberapa hari disuguhi seni pertunjukan, seperti tari hip hop Etha Dam dari Prancis dan Acapella Mataraman dari Yogyakarta yang cukup menghibur, akhirnya sempat juga nonton acara Festival Seni Surabaya (FSS) 2008 yang berbau sastra. Judulnya pembacaan puisi lima penyair Jawa Timur dan pementasan musikalisasi puisi Sosiawan Leak dan Temperente (Solo).

Agak bingung juga benernya, mana yang lebih utama; para penyair Jawa Timur (yang kok ya cuma lima orang itu) atau Sosiawan Leak dan Temperente.

Seingat saya, Sosiawan Leak ini selalu mengusung tema-tema sosial dalam karyanya. Sekalipun lama sekali tidak baca puisinya dan melihat pementasannya, saya masih ingat bagaimana sosoknya. Sekilas mirip Ki Joko Bodo. Hehe…Sori ya Mas Leak kalau kebetulan sampean nemu tulisan goblok ini.

Belum lama berselang, milis apsas yang saya ikuti sempat diramaikan dengan posting mengenai FSS 2008. Soal FSS yang kekurangan dana saya sudah dengar, tapi soal FSS jadi semacam satelitnya Teater Utan Kayu, nah itu yang menyedihkan. Lebih menyedihkan lagi karena diskusi soal itu jadi satu dengan posting soal lima penyair Jawa Timur yang entah apa yang akan mereka lakukan. Tidak jelas apakah akan meluncurkan buku, membacakan manifesto kepenyairan, atau sekedar lima penyair yang tinggal di Jawa Timur dan akan membacakan karya-karyanya.

Kenapa menyedihkan? Ya karena sudah cuma lima orang, dari Surabaya semua, tapi masih saja ditambahi tuduhan jadi satelitnya TUK.

Entah karena alasan apa, aku menyalin seluruh posting mengenai FSS 2008 dan menyimpannya di komputer. Mungkin cuma untuk klangenan saja. Biar terlihat seperti komputernya orang yang suka nulis lah, nyimpen dokumen begituan.

Sama tidak jelasnya seperti ketika akhirnya saya tiba di pelataran Balai Pemuda; sepi tidak banyak orang. Di loket pembelian tiket baru saya temukan jawabannya, dari setumpuk buku kumpulan puisi berjudul “Rumah Pasir”. Dari fisik buku langsung terasa bahwa itu adalah buku cetak digital. Para sukarelawan yang menunggu loket rupanya lupa (atau mungkin tidak tahu) bahwa malam ini adalah acara peluncuran buku ini, seperti dugaan saya. Tumpukan buku itu dibiarkan masuk angin di meja penjualan tiket.

Di depan pintu masuk sempat ngobrol dengan Gus Yus. Dia ga tahu tentang titikoma.com. Bahkan tandabaca.com juga ga tahu. Kok bisa, ya. Padahal dulu aku pernah minta dia kirim tulisan.


Tak lama kemudian Ragil mengajak kami untuk masuk. Pertunjukan akan segera dimulai.

Acara kemudian dibuka dengan pembacaan salah satu puisi dari buku kumpulan puisi itu. Setelah itu pembawa acara baru mengumumkan penampilan Temperete.


Usai satu komposisi yang cukup rancak, kembali pembawa acara mempersilahkan penyair lain membacakan karyanya. Kali ini giliran F Aziz Manna. Setelah itu balik lagi ke penampilan Sosiawan Leak dan Temperente.


Jika para penyair Jawa Timur menampilkan sajak-sajak ”gelap” dan ”apokaliptik” seperti yang ditulis oleh kurator kumpulan puisi tersebut, Arief Bagus Prasetyo, maka Sosiawan Leak melemparkan spontanitasnya; kata-kata semburat keluar dari lambungnya, yang mungkin sudah begitu enek dengan keadaan Indonesia sekarang.


Sayangnya penonton mungkin juga enek dengan kontras nuansa yang dibawa lima penyair Jatim dan Sosiawan Leak. Atau mungkin datang untuk nonton lima penyair Jatim, terutama setelah datang ke acara diskusi buku mereka di siang harinya. Sosiawan Leak dan Temperente dua kali meninggalkan panggung dengan tepuk tangan penonton yang sayup-sayup.


Mungkin karena itu di akhir pertunjukan, Sosiawan Leak menyindir ”para penyair” yang bisa jadi bagian dari ”tikus” yang menggerogoti Indonesia, yang memilih jadi ”manusia modern” yang semata-mata menganggap ketidakadilan sebagai bagian dari kenyataan yang harus diamini sambil berteriak keras dalam ruang hampa absurditas.

Baik Sosiawan Leak dan para lima penyair Jatim akhirnya pulang sendiri-sendir begitu saja. Tidak ada dialog. Sama seperti penonton, yang keluar mendapati pelataran Balai Pemuda yang lengang, dan memilih untuk pulang ketimbang menjadi bagian dari kerumunan yang gamang.

Kerumunan yang sebenarnya menantikan pengumuman sebuah ”proyek puitik” yang akan ”menebus sang kota dari kejatuhannya yang fatal di panggung sejarah” (Lima Penyair Jatim; Rumah pasir, Hal. 172). Proyek ini yang mestinya ditempel di punggung buku, ketimbang Semacam manifesto atas religiusitas lubang hitam para penyair Jawa Timur.

Ada yang sedang dirayakan di dalam buku itu, tapi entah apakah para penyair itu benar-benar berniat membaginya.

The Author

Sementara ini tinggal di Timika, Papua

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s