Setahun yang lalu, kalau tidak salah, aku terakhir melintasi jalan tol Waru-Gempol. Pemandangannya sama persis seperti yang kamu ceritakan: hamparan sawah nan hijau, desa-desa dan pabrik yang saling berjabat tangan, dan Gunung Semeru yang anteng duduk memangku semua dunia mimpi orang Jawa.
Aku sungguh sangat takjub melihat Semeru. Gunung Merapi yang biasa aku lihat dulu setiap berangkat kerja rasanya tidak ada apa-apanya. Bedanya, Merapi terlihat cantik sekali karena dari Jalan Monjali (sekarang namanya jadi Jalan Nyi Tjondrokilo), kalau cuacanya cerah, kamu bisa melihat bibir kawah Gunung Merapi. Melihat hal itu mungkin kamu akan merasa bahwa alam memiliki hak istimewa untuk membunuh manusia. Perasaan yang sama kalau kamu melihat laut yang luas dan tenang.
”Di balik sawah dan desa itu ada banyak candi,” katamu.
“Oh ya? Candi apa aja?” Tanyaku.
Bukannya menjawab, kamu malah membuka kaca dan memintaku mematikan AC mobil. Lalu memintaku mencarikan korek dan membuatku repot karena harus mencari korek di panel pintu sedangkan saat itu aku harus mengemudikan mobil. Setelah mendapatkan korek, kamu membuka sebungkus rokok, mengambil sebatang dan menyalakannya, kemudian memegang leherku, dan menciumku. Dulu kita kayaknya sering banget ya jalan-jalan, ke Malang, Porong, Pasuruan. Sampai sekarang aku masih belum sempat beli es campur (atau es teler?) dan bakso yang enak banget di Pasuruan.
Sekarang ini mungkin akan bilang bahwa peristiwa itu tidak layak dikenang. Kamu mungkin akan marah membaca tulisan ini. Tapi yah, emang siapa kamu, bisa ngelarang aku nulis.
Gara-gara Lumpur Lapindo, sekarang rute dari Surabaya ke Malang tambah jauh. Mungkin kamu sudah tahu kalau sekarang tidak bisa lewat jalan tol, tapi lewat ”bawah”, lewat Porong atau bahkan malah lewat Mojokerto-Mojosari. Jalan dari Gempol ke Lawang masih mulus seperti dulu. Empat lajur. Luas seperti di luar negeri.
Setahun yang lalu aku melalui jalan raya yang luas itu dengan perasaan yang sesak. Waktu itu jalan tol masih buka, sekalipun hanya satu lajur saja yang dibuka. Lumpur sudah terlihat mengganas. Dulu aku kira bukit-bukit gundul yang biasa aku lihat di Lawang adalah pemandangan yang paling membuat miris. Ternyata ada pemandangan lain yang membuatku merasa hancur lebur, yaitu pemandangan lumpur yang menelan sawah dan desa yang aku lihat di jalan tol.
Bagaimana ya rasanya kehilangan rumah, sekolah, atau sawah, dalam waktu yang singkat. Mungkin perasaan para korban Lumpur Lapindo sangatlah kacau. Mereka bukan korban bencana alam, seperti korban Gempa Yogya & Jateng dan Aceh. Mereka adalah korban kebodohan industri, yang mengira dengan membuat program CSR yang seadanya sudah bisa membuat industri menjadi berguna bagi masyarakat sekitar.
Dari Anis, temanku yang melakukan pendampingan korban Lumpur Lapindo, banyak ibu-ibu dan remaja putri yang sekarang terancam masuk ke dunia prostitusi. Ibu-ibu dan remaja putri yang kehilangan tempat bekerja dan sekolah mereka kini menganggur, dan mungkin sudah ada beberapa yang mengiyakan ajakan para germo dari Dolly atau Tretes.
Beberapa waktu lalu aku sempat mimpi buruk. Ada sosok mengerikan yang (semoga bukan) agak nampak seperti kakekku. Mungkin aku kurang berdoa untuk dia dan karena tidak pernah menyambangi makamnya selama dua tahun terakhir ini. Aku harus ke Malang. Kamu mau ikut?
Mau On ikutan ke Malang, tapi jemput ya hehehehe. Btw, siapa tuh yang berani2nya cium kamu???
miris bgt ya kl sampe ada ibu ibu dan anak gadisnya jd merambah ke dunia prostitusi….dan mereka bener2 yg ngga bs tau gmana mau melanjutkan hidup ini. Btw,aku jg rindu Malang…..