Gelembung-gelembung itu terbang meninggi dan meliuk ditiup angin. Beberapa gelembung melintasi segerombolan orang. Sebuah gelembung sanggup bertahan cukup lama, hingga menabrak lampu taman, tidak jauh dari seorang anak kecil yang berusaha melontarkan mainan “putar-putaran”nya. Setelah berusaha beberapa kali, akhirnya anak kecil itu berhasil melontarkan mainan yang terbuat dari bambu dan kertas mika itu. Wussh…Mainan itu terlontar ke atas dan turun ke bumi sambil berputar-putar, sesuai namanya.
Hampir setiap sore kita sekarang bisa menikmati pemandangan menyenangkan tersebut di Taman Bungkul, Surabaya. Sejak dibuka untuk umum pada 21 Maret 2007 lalu, Taman Bungkul selalu ramai didatangi warga Surabaya. Sejak direnovasi, Taman Bungkul memang terlihat lebih hidup. Di taman itu, warga Surabaya bisa melakukan banyak hal, tidak sekedar jalan-jalan. Bagi yang sekedar jalan-jalan menghabiskan sore hari, jalan di Taman Bungkul sudah sangat memadai. Bagi yang gemar “Extreme Sports”, di Taman Bungkul tersedia arena permainan Skateboard dan BMX. Bagi yang sudah berkeluarga, anak-anak dijamin akan senang sekali bermain di Taman Bungkul.
Keramaian semacam itu berbeda dengan keramaian sebelum Taman Bungkul direnovasi. Taman Bungkul terkenal sebagai tempat rapat umum partai politik (terutama pada saat pemilihan umum), tempat demonstrasi, dan tempat peziarahan.
Tempat peziarahan? Ya. Banyak peziarah, baik dari Kota Surabaya maupun daerah lain seperti Kediri, Banyuwangi, Gresik, dan Lamongan, yang berkunjung secara berombongan (Kompas, 24/4/1999). Karena di Taman Bungkul terletak makam Mbah Bungkul yang merupakan Boleh jadi Mbah Bungkul dapat dikategorikan sebagai wali lokal, suatu konsep sejarawan UGM Sartono Kartodirdjo untuk menyebut tokoh Islamisasi tingkat lokal. Keberadaan dia sejajar dengan Syeh Abdul Muhyi (Tasikmalaya), Sunan Geseng (Magelang), Sunan Tembayat (Klaten), Ki Ageng Gribig (Klaten), Sunan Panggung (Tegal), Sunan Prapen (Gresik), dan wali lokal yang lain (Kompas Jawa Timur, 6/8/2007).
Renovasi Taman Bungkul paling tidak bisa sedikit memenuhi kebutuhan spasialitas warga Surabaya. Terlebih setelah sekian lama dihimpit pembangunan mal-mal baru. Pembangunan mal-mal itu memang menyediakan ruang, tapi sama sekali bukan ruang ekspresi atau pemenuhan kebutuhan spasialitas warga Surabaya. Di selasar-selasar dan hall mal, warga Surabaya dipaksa untuk berjalan, membeli, atau pulang dalam perasaan sumpek karena tidak mampu membeli berbagai macam barang yang dipajang di mal.
Sekarang yang perlu diperhatikan oleh Pemerintah Kota Surabaya adalah konsistensi dalam perawatan. Selain itu pembangunan atau peremajaan taman di wilayah lain kota Surabaya. Taman Bungkul tentunya tidak akan mampu menampung kebutuhan spasialitas warga Surabaya. Akan lebih baik jika ada pembangunan atau peremajaan serupa di wilayah Surabaya Utara, Selatan, Barat, dan Timur.
Sebentar. Bukankah di Surabaya Barat sudah ada banyak sekali taman? Lihatlah di perumahan-perumahan mewah yang menjamur di wilayah Surabaya Barat.
Ternyata bukan taman mewah dengan penataan yang indah dan dibangun dengan dana besar yang ingin dinikmati warga Surabaya, tapi cukup ruang terbuka yang aman dan sehat serta dihiasi dengan pohon-pohon rindang. Mungkin itulah pelajaran yang kita dapat dari renovasi Taman Bungkul.
WIDYA CASTRENA DHARMA SIDDHA,
MENWA PEDULI
Adanya fasilitas pendukung demikian mmbutuhkan perhatian lebih utamanya sebagai sarana refreshing place, untuk ukuran kota Surabaya sebagai jantung kota dari Provinsi Jawa Timur dengan aktivitas dan mobilitas penduduk yang lebih/tinggi memerlukan suatu tempat untuk sekedar melepas kejenuhan selama beraktifitas, hal seperti ini telah diterapkan di negara2 besar Eropa bahkan USA sehingga mampu menciptakan kondisi lingkungan yang kondusif asal faktor keamanan tetap menjadi priority dan bagaimana untuk selanjutnya kita bersama melestarikan dan menjaga property yang disediakan untuk kita itu, we’ll seeing !
BRAVO JATIM!
http://www.satmenwa875uht-sby.blogspot.com
wah ternyata gitu toh…
taman bungkul keren abissssss
wah bagaimana yah dengan kesan / persepsi masyarakat surabaya sendiri tentang Taman bungkul
wah bagaimana yah dengan kesan / persepsi masyarakat surabaya sendiri tentang Taman bungkul ??
mengapa ya fasilitas semenarik ini hanya dimanfaatkan oleh kalangan menengah ke bawah?
antara para peziarah sunan bungkul dan hingar bingar pengunjung taman bungkul, sepertinya terjadi pemandangan kontradiktif. disatu sisi orang sedang kusyu berzikir dan berdoa tetapi didepan dan disamping makam terdengar hingar bingar musik dan suara-suara cekakan orang yang nongkrong di warung makan dan taman. Perlu kiranya difikirkan bersama masalah ini.