“Bapa, saya bisa belajar di sini, kah?” Tanya seorang anak pada seorang pengajar di Bimbingan Belajar Papua Anigou.
“Bisa. Kau pu rumah di mana?” tanya pengajar itu balik.
“Di dekat sini saja. Saya punya bapa kerja jadi tukang.”
Si anak kemudian masuk ke dalam rumah dan mulai membuka-buka halaman buku yang dia raih di sebuah rak buku sederhana di pojok ruangan. Di bagian lain rumah, seorang pengajar Bahasa Inggris sedang menyiapkan materi mengajarnya. Tidak lama berselang, beberapa anak berdatangan untuk memulai pelajaran sore mereka. Tanpa mereka sadari, anak-anak itu telah menemukan jati dirinya sebagai seorang pembelajar, yang tidak dibatasi oleh berbagai macam standar.
Dialog sederhana semacam itu yang kerap mengawali bergabungnya seorang anak di bimbingan belajar (Bimbel) Papua Anigou yang berlokasi di daerah Jalan Baru, Timika. Pesertanya cukup beragam, mulai dari anak-anak asli Mimika hingga anak-anak pendatang dari area Jalan Baru. Mulai dari yang sekolah hingga yang putus sekolah. Kebanyakan anak-anak usia Sekolah Dasar.
Dalam bahasa Mee, bahasa daerah Willem Bobbii, “Papua Anigou” kurang lebih berarti, “Bangkitlah Papua.” Sebuah semangat yang berawal dari keprihatinan Willem Bobbii melihat begitu banyak anak-anak usia Sekolah Dasar di Timika yang minat belajarnya rendah. Bahkan banyak pula anak-anak, apalagi dari masyarakat asli Mimika, yang putus sekolah.
Terlepas dari kemampuan orang tua untuk membiayai pendidikan, menurut Willem Bobbii, anak-anak sendiri seolah tidak terlalu peduli dengan pendidikan di sekolah. Apalagi di luar jam sekolah. Hal itu disebabkan oleh metode pendidikan di indonesia yang tidak membuat anak-anak menyenangi pelajaran mereka. Padahal dengan metode yang tepat, anak-anak akan menyenangi pelajaran apa pun tutur pemuda kelahiran Waghete tersebut. Bobbii kemudian mencontohkan pengalamannya menjelaskan konsep pecahan kepada siswa SMA Adhi Luhur Nabire. Anak-anak pada akhirnya memahami konsep pecahan setelah Bobbii menjelaskannya menggunakan contoh sebuah pepaya yang diambil dari halaman sekolah. Pepaya yang kemudian dibelah-belah itu akhirnya bisa membantu anak-anak memahami apa yang dimaksud dengan ½ atau 2/3. “Untung pepayanya sudah masak, jadi setelah belajar bisa dorang makan. Hehe,” tutur Bobbii mengakhiri kisahnya dengan canda.
Sikap riang dan semangat Bobbii dan rekan-rekannya itulah yang mungkin membuat setiap sore anak-anak usia Sekolah Dasar datang untuk belajar Matematika, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Komputer. Saking semangatnya, Bobbii dan rekan-rekan pengajarnya kerap merasa kewalahan. Satu unit komputer butut yang pada awalnya dirasa cukup, sudah tidak mampu lagi melayani hampir 40 anak yang ingin belajar komputer di Bimbel Papua Anigou. Akibatnya, banyak anak-anak yang tidak dapat kesempatan belajar komputer.
Di Timika, harga komputer bisa dua kali lipat dari harga di Jawa. Bagi Bimbel Papua Anigou, yang lebih sering tidak memungut biaya apa pun untuk anak-anak yang datang belajar, membeli sebuah komputer bukan sebuah hal yang mudah.
***
Tapi memang tidak ada hal yang terjadi secara kebetulan di dunia ini. Ribuan kilometer jauhnya dari Papua, di Jakarta dan Makassar, ada beberapa individu yang memiliki perhatian terhadap pendidikan di Papua dan telah lama ingin menyumbangkan komputer-komputer bekas yang ada di Jakarta. Tapi karena ongkos kirim yang cukup mahal ke Timika, rencana itu tertunda selama beberapa bulan.
Secara kebetulan, sebuah warung internet di daerah Mile 32 Timika, 20 kilometer jauhnya dari lokasi Bimbel Papua Anigou tutup karena pengelolanya pulang kampung. Pengelolanya bersedia menjual beberapa unit komputer dengan kondisi yang masih cukup bagus dengan harga yang cukup miring. Terlebih jika komputer itu digunakan untuk tujuan pendidikan anak-anak Papua.
Gayung pun bersambut. Dari Jakarta, Pak Budi Lais dan Ibu Ira Silalahi di Makassar mengirimkan dana untuk membeli satu unit komputer yang kini sudah digunakan anak-anak di Bimbel Papua Anigou.
Dengan komputer baru ini, anak-anak bisa belajar komputer tanpa harus berebutan. Sementara komputer yang lama digunakan seorang pengajar yang sedang sibuk membuat materi pelajaran bahasa Inggris menggunakan program Power Point.
“Kita kasih kaget dorang dengan materi belajar yang kreatif supaya dorang semangat,” tekan Bobbii sambil mencatat jadwal pelatihan membuat film dokumenter di papan pengumuman. Tidak hanya anak-anak saja yang Bobbi kasih kaget. Saya pun ikut terhenyak. Baru kali ini ada pelatihan membuat film dokumenter di Timika, bahkan hingga mendatangkan fasilitator dari Jakarta yang lulusan sekolah film di Jerman. Semoga pihak-pihak di Timika yang selama ini baku sikat saling menyalahkan soal kondisi pendidikan di Kabupaten Mimika juga ikut terhenyak melihat gerakan sederhana dari daerah Jalan Baru Timika ini.