Terakhir kali aku ke Jayapura dua tahun lalu, lahan kosong di depan Gelael Supermarket dipenuhi mama-mama Papua yang berjualan sayur dan hasil kebun lainnya. Seperti layaknya mama-mama Papua yang aku lihat di Timika, mereka menggelar dagangan di tanah beralaskan terpal. Lesehan kalau orang Jawa bilang.
Jumlah barang yang mereka perdagangkan tidak banyak. Misalnya; kalau jual sayur ya paling cuma tiga jenis sayur saja, kalau jual pinang ya cuma pinang dan pendukungnya. Saat itu aku jadi membayangkan, apa jadinya pasar ini kalau hujan turun.
Tapi sepertinya orang Jayapura lebih memilih pergi ke pasar di Jl.Percetakan untuk mendapatkan kebutuhan mereka. Di situ memang ada jauh lebih banyak yang bisa dibeli, mulai dari sayur mayur yang sangat segar, ikan asar, buah merah, sarang semut, kornet dari Papua Nugini, dll.
Sama seperti di depan Gelael, penjual sayur di pasar Jl.Percetakan itu sepertinya didominasi mama-mama dari Wamena. Kabarnya, mereka sekarang banyak bermukim dan membuka kebun di bukit-bukit di sekitar Jayapura. Sedangkan yang berjualan ikan sepertinya orang Jayapura sendiri.
Saat itu, aku membeli beberapa ekor ikan asar lima sebagai oleh-oleh untuk teman di Timika. Tapi kali ini aku tidak memilih untuk tidak membeli apa-apa. Tujuanku cuma satu; beli buku dan kartu pos di Gramedia. Tapi dalam perjalanan dari hotel menuju Gramedia, ada satu bangunan di sebelah kanan jalan yang menarik perhatianku, sebuah tenda besar berwarna putih. Di depannya ada papan besar bertuliskan “Pasar Sementara Mama-mama Papua”. Seingatku lokasi berdirinya tenda besar putih dulunya bangunan. Sepertinya sengaja dirubuhkan untuk pendirian tenda itu.
Kata temanku, pasar yang dipayungi tenda itu belum lama dibuka. Tenda itu didatangkan dari Singapura. Acara peresmian sempat diwarnai demonstrasi para mama-mama yang katanya tidak puas dengan pasar itu. Saat itu, aku mengira karena lokasinya yang kalah strategis dibandingkan lokasi sebelumnya. Setelah baca-baca di internet, ternyata karena fasilitas pendukungnya yang kurang memadai, seperti air dan listrik. Sekalipun tenda bagus itu membuat mama-mama Papua terlindung dari hujan dan panas, bisa dibayangkan repotnya berjualan tanpa ada air bersih dan listrik.
Terlepas dari berbagai kekurangan kedua pasar yang aku kunjungi di Jayapura, kondisinya masih jauh lebih bagus dari Pasar Swadaya di Timika yang kini sudah rata tanah. Di Pasar Swadaya, mama-mama Papua menggelar dagangannya di pelataran pasar yang becek dan berdebu. Sementara kios-kios di bagian dalam pasar ditempati oleh para pendatang.
Pasar Swadaya yang legendaris itu akhirnya tak berdaya menghadapi gempuran kebakaran bertubi-tubi (pada tahun 2009 saja pasar itu terbakar dua kali!). Dalam sebuah kebetulan yang aneh, kebakaran yang kedua kali pada tahun 2009 bertepatan dengan selesainya pembangunan Pasar Sentral Timika.
Pasar Sentral Timika dibangun sejak 2007 di atas lahan seluas lima hektar di kawasan Sempan, pinggiran Timika. Rencananya, Pasar Sentral mampu menampung sekitar 700 pedagang.
Sepeninggal Pasar Swadaya, jumlah pasar “semi-sentral” di Timika ternyata malah bertambah. Untuk mereka yang tinggal di utara Timika, bisa menjual hasil buminya atau membeli kebutuhan di pasar SP 2 yang ramai setiap sore. Sedangkan bagi yang tinggal di Timika, bisa pilih ke Pasar Sentral atau lapak-lapak pedagang yang tersisa di sekitar bekas lahan Pasar Swadaya.
Kondisi pasar-pasar itu serupa dengan almarhum Pasar Swadaya; kotor dan becek. Entah kapan Pemerintah Kabupaten Mimika membenahi pasar-pasar itu. Yang jelas, mama-mama Kamoro dan Amungme akan terus setia membawa hasil bumi dari pantai dan gunung ke Timika.