Tidak pace, sa tidak akan cerita tentang babi lagi. Ada kawan yang bilang kalau babi di papua itu dibawa orang-orang Dongson dari Cina Selatan.
Ah pace, sore ini sa mau cerita soal lonceng gereja. Barusan sa dengar ada lonceng gereja berdentang beberapa kali. Kemarin di Kaokaonao sa lihat lonceng dari zaman Belanda yang sudah teronggok tidak terpakai di depan pastoran. Nanti malam sa akan tulis cerita jalan-jalan ke Kaokaonao itu untuk pace. Tapi tolong jangan samakan Kaokaonao dengan Paperu. Kaokaonao bersembunyi di balik pulau-pulau kecil di pesisir selatan Mimika. Pohon kelapa di sana berkawan dengan pohon pakis, bakau, dan nelayan miskin, bukan dengan turis. Seorang bapa bilang dulu kalau pesawat Catalina datang mendarat di muara sungai, dia seperti melihat anak-anak kecil yang disakiti ibunya dan memilih jadi burung. Bapa itu tahu kalau anak-anak itu cuma dongeng, tapi Bapa sudah lama sekali tidak dengar dongeng. Apalagi sejak Trikora datang.
Lima tahun sejak Trikora datang, dongeng semakin terbenam, seperti kepiting raksasa di bawah lumpur pohon bakau di pulau seberang sana…
Ah, sana…kau lihat kah, pace?
Ya, dulu di sana bapa itu dilahirkan, di dalam hutan. Trada Kasuari dan Lau-lau yang menemani, hanya ikan kapas dan kepiting. Tapi dalam buku, Kasuari dan Lau-lau seolah-olah hidup juga di Kaokaonao. Sekarang dalam pikiran bapa, hanya laut lepas yang ada: kau tahu kau orang Papua tapi entah kenapa kau tidak tertarik melihat sekeliling. Hanya laut yang bisa menampung pertanyaan sepi itu.
Sepi bapa itu bukan sepi yang dicari orang di Paperu. Sepi bapa itu tak terkira heningnya, pace. Setiap hari minggu barulah lonceng gereja menyadarkannya, bahwa dia adalah orang Papua. Tapi sayangnya pace, lonceng itu sekarang rusak. Sandaran kayu yang menyangganya sudah tra kuat lagi.
Selamat sore, pace.