Ternyata aku tidak sendirian. Seseorang di kantor sekarang sedang resah, sekalipun dengan sumber keresahan yang agak berbeda.
Dia merasa bahwa profesinya (yang sudah digelutinya selama lebih dari 5 tahun –rentang karir yang tidak pernah bisa aku bayangkan) adalah produsen mitos, yang membuat orang terus menerus mengkonsumsi. Dalam beberapa obrolan, dia selalu menekankan betapa hebatnya kapitalisme bisa menghegemoni masyarakat Indonesia, membuat orang Indonesia dengan suka rela nonton film-film Hollywood, memimpikan berbagai macam merek hape, seperti menggiring orang untuk bunuh diri minum racun tikus rasa strawberry atau chocolatino. Tersedia banyak pilihan rasa!
Tidak heran, setelah dia ngeloyor pergi sambil menggaruk-garuk kepalanya, seorang teman lain menyeletuk: ”Walah, baru sekarang sadar kapitalisme itu ganas? Nang ndi ae, Mas?”
”Yaa, habis gimana ya, perkembangan kapitalisme sekarang ini sampai bisa menciptakan berbagai macam mitos.” timpalku sambil melahap lumpia murahan yang aku beli di depan kantor.
”Mitos?”
”Begitu banyak hal yang kita terima begitu saja, teken for grentet…”
”Misalnya?”
”Iklan cuma salah satunya, nah gosip artis misalnya, kita kan menganggap bahwa gosip adalah informasi yang harus kita lahap juga.”
”Terus mau diapain?”
”Jangan asal terima saja, semua yang kita konsumsi harus kita sikapi dengan kritis.”
”Rokokmu itu rokok Amerika, kenapa ga ngerokok kretek asli Indonesia?”
”Nah itu lain, Bung. Itu masalah selera…”
“Lha mbok berpikir secara kritis soal seleramu itu.”
”Begini…”
Kisah selanjutnya akan percuma saja aku ceritakan di sini. Yang jelas pagi itu aku kembali ke meja kerja dengan sebuah kesimpulan: manusia semacam temanku (dan aku sendiri juga mungkin) yang telat itu jumlahnya banyak sekali. Sesuatu membuat mereka sadar bahwa ada proses pengerdilan diri dan penenggelaman kemanusiaan yang sedang berlangsung, tapi tidak merasa tidak bisa (baca: tidak mau) berbuat apa-apa. Iklan-iklan televisi mungkin jadi semacam pisau bermata ganda, selain melenakan dia juga perlahan menumbuhkan sikap kritis, sekalipun samar-samar.
Setiap hari mereka terbangun dikelilingi mitos, mulai dari rokok yang mereka beli karena iklan yang lucu, teh celup atau kopi instan, gosip artis, guyonan politik, berita kriminal. Hingga mungkin 60% mimpi mereka adalah hasil penerimaan mereka atas berbagai mitos yang menyergap diri mereka setiap hari dan diterima begitu saja seperti halnya udara.
Tidak heran juga jika Octavio Paz menyerukan ajakan yang sama sangarnya dengan simpulan Karl Marx: manusia modern mampu merasionalisasi mitos, tapi tidak mampu menghancurkannya.
Salam Damai,
Selamat nonton Jerry Maguire….
PS: Lha terus apa keresahanku? Sederhana saja, Bung: bosan jadi orang kantoran…hehe…dan ngeri aja membayangkan setelah bekerja sekian lama baru sadar, seperti temanku yang sekarang terlihat semakin melankolis saja setiap hari.
Hmm.. ceritanya bagus. Mewakili keadaan dan pola pikir sebagian besar bangsa ini.
Sadar tentang suatu hal yang tidak benar, tetapi tetap tidak bisa menolaknya, menghindarinya, apalagi melawannya.
Dan aku pun bisanya cuma ngasih komentar gini.. He..he Gak bisa berbuat lebih..
Bagus… tapi tidak perlu menggerutu dan mengutuk keterpaksaan kita dalam cengkeram kapitalisme. Yang penting semoga benihku dan benihmu tidak seperti kita pesawat kertas. Belum sampai tinggi, jatuh sudah. Langit itu jauh. Semoga perkasa lebih dari pesawat baja.
Kita Karib, On… para manusia kecil