Beberapa hari setelah Natal, seorang teman membalas sms Natal yang saya kirim pada malam Natal, mungkin dia begitu sibuk bekerja hingga telat membalas atau karena seringnya dihajar headline koran akhir-akhir ini yang memberitakan bencana; sepertinya tragedi dan bencana ga ada habis2nya. Kalo ini ujian dari Tuhan semoga kita tulus menghadapinya. Tapi kalo ini murka dari Tuhan semoga pintu kasih sayangNya masih sedikit terbuka. Selamat Natal.
Sebelum Natal, di Bengkulu orang pada panik setelah mendengar ramalan seorang profesor Brasil tentang gempa yang akan menyapu Bengkulu dengan skala sebesar gempa Aceh beberapa tahun lalu.
Lalu hujan turun dengan begitu derasnya selama beberapa hari. Tanggal 26 Desember mulai terlihat sebenarnya seperti apa bencana yang kita tanggung kali ini, gelombang besar, banjir dan tanah longsor meremukkan daerah perumahan dan menghancurkan lahan pertanian di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Semua itu terjadi di saat yang penuh dengan ketidakpastian; saat saudara-saudara kita yang baru saja tertimpa bencana (alam dan akibat ulah perusahaan seperti di Sidoarjo) di berbagai wilayah Indonesia masih berjuang menghadapi keadaan sulit.
Sebagian orang Jawa, yang begitu menjiwai tatanan alam semesta, percaya bahwa tahun 2008 akan semakin dipenuhi dengan bencana karena bertepatan dengan sekian abad keruntuhan Majapahit; janji-janji Sabdopalon dan Nayagenggong yang begitu tertancap di memori kolektif masyarakat Jawa.
Sebagian orang akan bertanya; di mana Tuhan dalam bencana, apalagi dalam serangkaian bencana? Apakah dia berdiri sebagai hakim atas semua tindakan manusia, seperti yang disampaikan kawanku melalui sms. Ataukah dia, seperti yang dikatakan Constantine dalam film Constantine, seperti anak kecil yang memiliki peliharaan dan tidak mau tahu dengan segala tetek bengek peliharaannya itu.
Ataukah dia seperti yang digambarkan dalam bagian dari novel Elie Wiesel, yang berjudul Malam. Di situ Wiesel menceritakan pengalamannya di kamp konsentrasi Nazi Jerman. Pada suatu saat penghuni kamp dikumpulkan untuk menyaksikan hukuman gantung sampai mati untuk 3 orang yang dianggap bersalah. Salah satunya ternyata seorang remaja. Setelah digantung yang dua orang mati, tetapi mungkin karena talinya tidak pas di leher, si remaja masih lama tergantung hingga akhirnya meninggal. Wiesel mendengar di belakangnya orang berbisik-bisik “di mana Tuhan? (kok tidak turun tangan menolong?)”. Lalu tiba-tiba seperti sebuah inspirasi dia mendapat jawaban, Tuhan ada di situ, di anak remaja yang sedang bergumul dan sekarat itu.
Mungkin seperti itulah keberadaan Tuhan; ikut menderita bersama manusia, bersama saudara-saudara kita yang hilang ditimpa tanah dan ditelan lautan, menangis bersama mereka yang ditinggalkan orang yang mereka kasihi, menangisi semua perbuatan manusia terhadap alam.