Sejarah dan Identitas Surabaya

comments 15
Tentang kota

Warga Surabaya kini cukup beruntung dapat melihat secuil wajah masa lalu kota mereka. Beberapa lembaga (yang kebanyakan swasta) dengan telaten mengumpulkan foto-foto Surabaya “Tempo Doeloe”. Bahkan ada seorang penulis yang tidak hanya mengumpulkan foto, tapi juga berbagai kisah mengenai masa lalu Surabaya.

Tapi di sisi lain, pembangunan kota Surabaya seolah berjalan di jalur yang berlawanan dengan kemunculan ketertarikan untuk memahami sejarah Surabaya. Semakin banyak kita temui bangunan-bangunan lama dirobohkan dan digantikan dengan bangunan baru. Polemik mengenai penghancuran Stasiun Semut kini seolah terlupakan begitu saja. Jalan Raya Darmo yang sebenarnya merupakan museum raksasa masa lalu Surabaya secara perlahan kini menjadi ruang pajang koleksi Ruko (Rumah Toko), Bank, dan kantor. Secara perlahan rumah-rumah lama digantikan oleh bangunan baru yang menghapus referensi terhadap masa lalu Surabaya.

Lalu banyak pihak mempersoalkan kesadaran sejarah Pemerintah Kota Surabaya. Yang mungkin akan dijawab ringan oleh Pemerintah Kota Surabaya dengan menunjukkan keberhasilan proyek revitalisasi kawasan Kembang Jepun (yang kini mendapat nama baru, “Kya-Kya”). Sekalipun pada siang harinya,kita tidak akan bisa jalan-jalan dengan nyaman di kawasan niaga itu.

Apakah kita baru berhenti pada sekedar romantisme masa lalu Surabaya (pada masa kolonialisme Belanda)? Ataukah pandangan sejarah kita yang salah? Paling tidak ada beberapa catatan mengenai sejarah dalam konteks pembahasan mengenai kota Surabaya.

Pertama, sejarah bukanlah kumpulan relik dari masa lalu atau kumpulan cerita yang unik. Sejarah adalah dialog yang terus menerus antara yang masa lalu dan masa kini. Hal itu juga berlaku bagi sejarah kota Surabaya. Usaha penulisan sejarah Surabaya dan pelestarian wajah kota Surabaya saat ini rasanya kurang melibatkan warga Surabaya. Warga Surabaya seolah hanya ditempatkan sebagai penikmat foto-foto Surabaya “Tempo Doeloe”. Sementara semakin banyak saja bangunan-bangunan lama yang dirobohkan dan warga Surabaya hanya bisa menyadari bahwa ada Mal atau Ruko (Rumah Toko) baru yang didirikan, tanpa mereka tahu bahwa ada bangunan lama yang dikorbankan untuk hal itu. Dengar-dengar korban berikutnya adalah Penjara Kalisosok. Dengan cara seperti itu, bisa-bisa sepuluh tahun mendatang hanya bangunan-bangunan lama yang kini digunakan pemerintah saja yang akan selamat.

Kedua, sejarah mestinya juga berfungsi sebagai sarana penguat rasa kepemilikan warga Surabaya atas kota dan sejarah panjang kota mereka.[1] Dan sejarah kota tentu saja sangat tidak memadai jika hanya diwakili oleh foto. Memang benar bahwa foto bangunan bisa bercerita begitu banyak. Tapi untuk mendapatkan gambaran yang utuh mengenai masa lalu Surabaya kita juga membutuhkan juga foto jalan, taman kota, rumah sakit, penjara, dan peta kota. Jalan Tunjungan dulunya merupakan jalan dengan ruang arkade yang sangat memadai. Sekarang cobalah berjalan-jalan menyusuri Jalan Tunjungan, mulai dari Siola hingga pertigaan depan Tunjungan Plaza. Masihkah kita merasakan semangat “Rek ayo rek…mlaku-mlaku nang Tunjungan” seperti yang dinyanyikan oleh Mus Mulyadi? Atau cobalah berjalan kaki menyusuri Jalan Pemuda, mulai dari Perempatan Mitra hingga Balai Kota. Adakah perasaan bahwa kita sedang berada di jantung kota Surabaya? Kalaupun ada perasaan semacam itu mungkin hanya karena kemacetan dan arus lalu lintas yang tidak mempedulikan para pejalan kaki. Di Surabaya (dan di kota-kota lain di Indonesia sepertinya), ruang arkade dan promenade mungkin sudah mati, dan dipindahkan ke Mal-mal besar. Di mal-mal besar itu warga Surabaya kini mengalami berbagai perjumpaan. Bukan perjumpaan dengan sesama warga Surabaya, tapi dengan Matahari dan Sogo, Mango dan Zara, J.CO dan Coffebean. Bisa jadi warga Surabaya tidak merasa kehilangan ruang arkade dan merasa nyaman-nyaman saja berjalan-jalan di dalam lorong-lorong Mal. Tapi warga Surabaya juga tidak boleh marah jika ada warga kota lain yang mengatakan bahwa Surabaya tidak memiliki kekhasan wilayah kota. Tanpa kita sadari Surabaya ternyata sudah kehilangan begitu banyak hal. Tidak hanya bangunan-bangunan lama dan bersejarah.

Suatu kali saya pernah melihat para penggemar sepeda tua yang mengenakan pakaian kolonial bersepeda beriring-iringan melalui Jalan Tunjungan. Sudah pasti mereka menjadi pusat perhatian para pengendara mobil dan motor. Awalnya saya kaget, tapi kemudian ada perasaan miris yang muncul. Ya, para pengendara itu seolah hendak merayakan masa lalu Surabaya. Tapi untuk apa dirayakan? Apakah karena Surabaya sudah berubah menjadi sebuah “metropolis”[2] dan warga Surabaya sudah siap kehilangan sejarah panjang mereka dan menerima identitas baru kota Surabaya sebagai kota Ruko dan Mal? Semoga tidak sengeri itu jadinya kota kita kelak.


[1] Tidak banyak kota di Indonesia yang mengalami perkembangan seperti Surabaya, mulai dari sebagai kota tradisional praindustrial hingga menjadi kota modern pada masa penjajahan Belanda.

[2] Sejak kapan Surabaya jadi kota Metropolitan? Istilah “Metropolitan” itu muncul dan diterima begitu saja. Pemerintah kolonial Hindia Belanda dulu dengan sangat bangga menyebut Surabaya sebagai kota pelabuhan. Sebuah sebutan yang lebih pas dan tepat.

The Author

Sementara ini tinggal di Timika, Papua

15 Comments

  1. utik says

    SETUJU!!!! But how can we make those stupid money-oriented people in Pemkot reaize this thing??? That’s hard. One thing for sure, aku ga rela ada mall baru lagi di Surabaya. Ato bahkan ruko! “coz noe everytime I see a old historical house or building being destroyed, I want to cry. Where does the beautiful city of Surabay go????

  2. PEMKOT dan warga Surabaya, Lindungi dan rawatlah bangunan2 kuno yang ada di Surabaya!!!
    Itu adalah aset yang harus dijaga dan dirawat oleh kita semua warga Surabaya.
    Sadarilah betapa indahnya bangunan2 kuno yang ada di Surabaya. Kelak kita tidak perlu jauh2 ke Eropa atau mungkin China hanya menghabiskan uang untuk mengagumi betapa indahnya arsitektur bangunan2 Eropa dan indahnya kota di China tapi cukup jalan2 ke jalan veteran aja. hehe..
    Kita harus sadar bahwa kota Surabaya pun juga indah lho!!

  3. sebagai anak muda jaman sekarang, saya sadar banget kalo misalnya kita2 uda lupa ama identitas kota sendiri. Saat ini saya sedang melakukan survey tentang bangunan-bangunan terkenal di surabaya yang terlupakan. Saat survey dengan tim, kami menemuan fakta yang mengejutkan. Tapi itu tidak cukup. Saya memerlukan refrensi yang lebih luas. Mungkin blog ini bisa membantu.

    osa,14 th

  4. hmmm…saya tergolong gak tau apa2 malah lagi cari tau segala hal soal surabaya, karena mulai bulan depan saya ke surabaya, dapat kerja disana, ternyata surabaya itu indah ya? saya pikir cuma panas, semrawut kaya jakarta, sempit dll…boleh dong segala macem info soal surabaya dan tempat2 hang out yang asyik disana + kendaraannya klo lagi naik umum apa ja, dimana aja, trima kasih ya sebelumnya….
    salam kenal..Aci, calon penduduk sementara surabaya hehehe…

  5. Abd.Wadud Iskandarsyah alias Willy Alexander Pelenkahu says

    Usia saya ketika Surabaya masih “virgin” ( awal th.60-an) kurang lebih baru 10 tahun, sekarang sudah 56. Saya rindu Surabaya masa lalu, gedung-gedung tua masih tegak. Rindu sama ikatan persaudaraan yang begitu kental dengan sesama teman-teman sekolah / kuliah.

  6. Saya sangat setuju dengan artikel ini.
    Aq kangen dengan suasana surabaya yang sejuk, tidak terlalu macet. banyak tempat untuk bermain. sekarang aja utk bermain hrus bayar. kasian deh arek suroboyo. walaupun aq asli arek suroboyo

  7. Peninggalan masa lalu perlu dilestarikan agar anak bangsa ini mampu bangkit dansadar akan yang pernah dilakukan pendahulunya di masa lalu untuk kesuksesan di masa datang

  8. saya sangat setuju terhadap artikel di atas.
    dari membaca artikel diatas, saya jadi ingin merubah kembali kota surabaya menjadi seperti dulu..
    tapi bagaimana caranya ya. . . . ?

  9. hmm….
    keknya setuju ya…

    soalnya artikel diatas sangat seperti yang saya harapkan .

    yah lumayan contek ah… buat bikin makalah….

    HEHEHE…. ^_^

  10. anang says

    surabaya makin ruwt,banyak hutan iklan,bangunan liar pnggir kali,jalan jadi pasar,pasar jadi tempat tinggal

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s