Hari minggu yang melelahkan. Sepanjang hari aku isi dengan tiduran, membaca cerpen di beberapa koran, dan bermain game komputer. Setelah 12 jam diregang kecemasan khas urban di dalam kamar, aku putuskan untuk keluar rumah. Sekedar keluar dari dunia cemas ini dan mencari tempat untuk melepas semua ketegangan. Seperti biasa pilihanku adalah pergi ke warung kopi.
Aku tidak seperti teman-teman lain yang punya warung kopi favorit, tempat mereka bertemu dengan kawan-kawan, ngobrol ini itu. Bagiku, warung terbaik, selain tempatnya yang nyaman, adalah karena keberjarakanku dengan warung itu, aku tidak mengenal satupun di antara pengunjung. Dengan tetap menjadi orang asing, aku punya banyak waktu berpikir (Tentang kamu? Mungkin juga). Sungguh, berpikir sambil melihat manusia berlalu-lalang jauh lebih menyehatkan daripada berpikir melihat suasana kamar yang itu-itu saja. Mungkin karena itu lebih banyak ide-ide cemerlang di dunia ini yang lahir di keramaian warung/café/pasar/selasar kampus daripada di dalam kepengapan perpustakaan atau ruang baca.
***
Selesai cuci muka, aku langsung berangkat ke daerah Pucang, ke warung kopi kesukaanku. Warung kopi ini baru buka setelah toko kain di depannya tutup. Lokasinya di perempatan Pasar Pucang berseberangan langsung dengan warung makan emperan yang populer. Banyak pembelinya datang naik mobil bagus-bagus. Kalo ada perempuan yang turun dari mobil, bisa dipastikan parasnya cantik. Dari warung ini mereka terlihat jelas. Tidak hanya itu, di sebelah warung makan itu ada warung rokok yang memutar televisi, dan selalu ramai setiap ada acara bola atau film India tengah malam. Karena dipisahkan oleh jalan yang lumayan besar, pelbagai kegiatan yang berlangsung di warung makan itu tidak terlalu mengganggu suasana di warung kopiku.
Benar saja. Ketika aku tiba di warung kopi itu, hanya ada dua kelompok pembeli. Kelompok pertama, di sebelah kananku, sepertinya sedang mempersiapkan band aliran gothic atau dark metal. Yang paling dominan di antara mereka bertiga, si gondrong, mengusulkan kepada si kurus di sebelahnya untuk meminjam kostum daripada membelinya, menyuruh si kurus untuk menghubungi si irex untuk meminjam masker. Di sebelah kiriku, sepasang kekasih yang sepertinya berusaha membuang kesumpekan mereka di warung ini. Si cewek tiduran beralaskan paha si cowok. Sementara si cowok hanya duduk memandang keramaian warung seberang sambil memegangi sebuah pulpen. Di depan mereka terbengkalai sebuah buku TTS, di halaman buku yang terbuka itu tak satupun baris terisi. Ketika aku baru menginjakkan kaki di warung, si cewek terlihat sedang membetulkan rambutnya, sia-sia, wajahnya tetap terlihat kacau. Persis seperti kamu.
Aku tidak habis pikir. Kenapa kamu kecewa dengan jalan yang tidak dewasa sama sekali. Selama ini aku memandangmu sebagai manusia dewasa yang memendam kekecewaan dan menanamnya gundukan tanah di atasnya dengan bebungaan. Kamu melakukannya karena kamu tahu aku akan selalu melewati jalanmu, dan gundukan-gundukan tanah bukanlah sesuatu yang indah untuk dilihat. Apalagi untuk dilewati. Pasti rasanya seperti melewati jalanan Surabaya yang penuh lubang.
Tapi kali ini mungkin semuanya begitu mendera bagimu. Aku sangat paham. Aku selalu mencoba untuk paham. Bahkan di saat pertengkaranmu dengannya. Mungkin itu yang namanya karma. Setiap perbuatan yang kita perbuat akan selalu kembali pada diri kita dengan cara apapun. Dia tidak pernah mau mengaku padamu bagaimana dia “jajan” di lokalisasi Dolly. Sekalipun dia akhirnya melakukannya juga atas paksaan rekan-rekan bisnisnya, dan dia membayangkan wajah-tubuhmu ketika menyentuh tubuh pekerja seks itu, dia tidak pernah berani bercerita padamu. Hanya padaku dia berani. Itupun karena dia tahu aku punya mimpi-mimpi yang menunjukkan kejadian-kejadian sebenarnya di dunia nyata.
Aku jadi mengerti bagaimana susunan wajahmu kala itu, ketika sedang mabuk berat dan semua masalah merubung di kepala. Kemudian ketika di depanmu kenyataan sudah menyingkap semua tabirnya akibat desakan alkohol, kamu tidak lagi mampu menahan kepala dan tubuhmu, mabuk dan muntah. Semua permasalahan mengintip dari luar dirimu sepeti hantu yang melayang-layang di atas air, mulai dari uang kontrakan rumah, gaji yang tidak layak, uang kuliahku yang mahal, biaya pesta slametan nenek yang lumayan besar. Lalu pelan-pelan satu persatu teman-teman cowokmu melucuti pakaianmu dan mengajakmu berpesta orgy.
Aku sudah pernah beritahu kamu khan kalau aku melihat semua kejadian itu di dalam mimpiku? Bahkan sampai pada saat tiba suatu pagi kamu terbangun di sebuah kamar, telanjang bulat, hanya dibalut selimut. Aku melihat hampir semuanya.
Aku begitu marah ketika kamu tidak mengakui perbuatanmu itu. Tapi aku tidak mengancammu bukan? Aku yakin dia akan segera mengetahui perbuatanmu itu, cepat atau lambat. Karena aku tahu perasaan manusia manapun, jika diasah dengan telaten, jauh lebih tajam dari kemampuan indrawi dukun manapun. Sampai kemudian di hari Sabtu yang lembab kamu menelponku dan mengakui perbuatanmu dengan tidak langsung. Dalam pembicaraan telpon itu kepalaku memutar kembali cuilan-cuilan mimpi yang masih tersisa di otakku.
Dalam mimpiku semua kejadian itu terlihat begitu erotis dan estetis. Tapi dalam kenyataan, aku yakin sekali, pasti berlangsung dalam salah satu pojok kehidupanmu yang paling menyedihkan. Selimut yang menutupimu pastilah selimut tipis murahan sudah berlubang di sana-sini, kamar yang pengap dengan cat tembok kusam, lantai kamar yang kotor, semuanya begitu lesu. Menawarkan padamu tidak lain hanya kelesuan.
Setibamu di rumah, kelesuan pasti tidak juga menyingkir. Jika tepat saatnya mungkin dia akan menyambutmu seperti adegan-adegan dalam kisah anak durhaka yang pulang ke rumah karangan Andre Gide. Ah, berlebihan sekali aku ini. Pasti semua akan berlangsung bisa saja, tidak ada yang dramatis. Dia akan menyambutmu dengan pelukan hangat sepeti biasanya begitu kamu menginjakkan kaki di teras rumah. Baru kemudian setelah kamu selesai mandi dan menyiapkan makan malam, dia memulai pembicaraan dan menyeretmu dalam pertengkaran.
Entahlah. Aku begitu muak akan semua ini. Aku begitu muak melihat bagaimana angkatanku, sekumpulan manusia-manusia muda, digiring masuk ke semacam rumah jagal raksasa. Angkatanku terus menerus kalian salahkan, entah karena narkoba, free sex, teknologi, dekadensi moral, kebudayaan barat, dan lainnya. Tapi kalian yang lebih tua, yang menudingkan jari kalian terus menerus ke kami ternyata tidak kalah remuk kehidupannya dengan kami.
Begitu rumitnya semua pengalaman ini, aku tidak pernah tahu cara yang tepat untuk mengungkapkannya. Aku menginginkan semacam versi cetak dari Bohemian Rhapsody atau Exit Music (For A Film) dan versi modern dari Hamlet, Wuthering Heights, atau Scarlet Letters. Sesuatu yang kental dengan kondisi kekinian zamanku, yang mengingatkan aku dan sesamaku dan anak cucuku kelak secara terus menerus akan kepahitan yang sedang kita jalani. Tapi jangan-jangan kawanku ada benarnya. Dalam bentuk puisi dia berbicara padaku; “Seperti itukah dunia? Aku kamu terpaku / Di etalase, diam mencari makna, entah sebab kita / Sekedar pajangan / Sampai lupa, kita berdiri di mana?” *
Diam-diam tanpa kalian sadari aku sedang merekam semuanya dan berusaha memindahkan hasil rekamanku menjadi sebuah (aku malu sebetulnya mengakui ini) novel. Tapi menulis novel bukan perkara yang gampang. Banyak sekali manusia dengan berjuta pengalaman menyerah pada keangkeran menyusun ribuan kata. Mungkin aku juga akan seperti itu. Aku selalu mencoba melatih ketangguhanku menembus jajaran teks dengan menulis cerpen, tanpa peduli dimuat di media atau tidak.
***
Sebelum pulang aku sempatkan mampir ke warnet, membalas beberapa email dan melihat-lihat situs-situs band kesukaanku. Belum sampai di ruang keluarga, papa sudah mencegatku di pintu, berdiri hanya mengenakan kaos singlet dan sarung sambil menghisap rokok kreteknya. Bau rokok kretek yang hangat dan sarungnya membuat aku tenang dan menjawab pertanyaannya dengan penuh kesopanan, tidak kasar seperti yang tadi aku rencanakan.
Daru, mama dimana? Tanya papa
Oh, di rumah temannya.
Siapa? Tahu dari mana kamu?
Kemaren Daru telpon. Katanya besok pagi mama pulang, tapi di rumah siapa Daru nggak tahu.
Ayo temeni papa berdoa, semoga mama baik-baik saja dan mau pulang ke rumah lagi.
Iya pa, Daru cuci muka dulu.
Ah, semoga semua kejadian ini mimpi belaka. Dan jika bangun kelak aku baca kisah ini di kolom budaya di sebuah koran. ***
Pesisir Kenjeran, Juli 2004