
Gedung-gedung sintal di Hanoi
Seperti ini wujudnya interior bis antar kota nyaman yang disarankan Toan, concierge di sebuah hotel di Hanoi. Nampak di belakangku adalah seseorang dari dua orang turis Israel yang sepertinya juga kena anjuran manis naik bis ke Hoi An. Setelah deal dengan Toan, kami dijemput sebuah taksi dan seseorang yang naik motor dan nampak tergesa-gesa. Sepertinya dia makelar bis. Dari tempat kami menginap di Lo Su, taksi mengarah ke Old Quarter Hanoi. Di Hanoi sepertinya orang tidak kesulitan mencari alamat. Di dalam labirin kota tua dengan jalanan yang ramai itu, sang makelar dan sopir taksi dengan gampang menemukan hotel tempat dua orang turis asal Israel yang ikut juga di bis ini.
“Pertama kali naik bis ini?” Tanyaku sambil membenahi posisi duduk akibat tergencet badan dan tas ransel mereka yang besar. Untung Sasi duduk di kursi depan. Tapi toh dia mengomel juga.
“Bau badan mereka itu, lho, pasti sudah lama ga mandi.” Katanya.
***
Dulu sekali, ada teman yang bilang, kalau mau merasakan demokrasi. Merasakan lho ya, bukan memikirkan, imbuhnya, naiklah bis kota. Dalam bus Surabaya-Malang, ucapan temanku itu benar adanya. Kita tidak punya kuasa untuk menentukan siapa yang akan duduk di sebelah kita. Semua indra kita harus terbuka untuk berbagai rangsangan yang datang. Mulai dari bau knalpot yang bocor masuk ke dalam kabin bus hingga bau rheumason dan aroma muntah dari penumpang di belakang yang baru saja muntah. Kita dipaksa terbuka dengan keadaan, berdialog, dan entah mau kita jadikan apa, bisa jadi sumpah serapah soal buruknya transportasi Indonesia atau jadi catatan perjalanan yang nikmat dibaca.
Beberapa hari sebelum Sasi dan aku memutuskan naik bus yang memakan waktu 16 jam ini, aku agak ragu dengan kemampuan Sasi menghadapi suasana bus dan perjalanan yang melelahkan. Dia memutuskan mau naik bus karena kata Toan (sambil menunjukkan foto-foto hasil Googling), kursinya bisa ditekuk jadi tempat tidur, AC dan Wifi mengalir lancar.
“Aku dulu sudah biasa naik bis 6 jam Surabaya ke Yogyakarta atau lebih lama lagi dari Surabaya ke Jakarta. Kamu?” tanyaku ke Sasi.
“Gakpapa. Aku sudah bawa obat anti mual dan mending naik ini daripada naik pesawat. Cuma 35 USD”
Mendadak, atau untuk sementara waktu, Sasi berubah dari Flashpacker jadi Semi-backpacker. Okelah. Balasku santai.
***
Keluar dari keramaian Old Quarter, taksi kemudian mlipir ke pinggir jalan raya. Ada dua bus besar yang sudah parkir. Sepertinya bukan pangkalan bus resmi. Setelah menunjukkan tiket, seorang pria yang pemarah mengajak kami masuk ke dalam dan meminta kami melepas sepatu. Dia menyorongkan sebuah kantong plastik. “Isi disini,” katanya dalam bahasa isyarat.
Bis besar itu sudah dimodifikasi untuk perjalanan jauh. Ada 2 lantai. Di lantai atas aku hitung ada 19 kursi dari depan ke belakang. Di bawah sepertinya juga ada 19 kursi. Beberapa penumpang pertama yang masuk bersamaan denganku dan Sasi adalah sepasang turis laki-laki dari Israel yang setaksi dengan kami, sepasang turis perempuan dari Spanyol sepertinya dan sepasang muda-mudi dari Belanda. Setelah itu datang seorang pemuda Vietnam.
Tidak lama kemudian bis yang mangkal di jalan raya dekat Sungai Merah itu segera dipenuhi penumpang. Di bawah ada 4 orang Vietnam. 1 ibu memangku anaknya yg berusia 5 tahunan. Pasti berat rasanya memangku anak yang gemuk itu. Tapi toh si ibu tidak nampak terganggu. Mereka sepertinya sudah biasa naik bis ini. Orang Vietnam pasti bayar lebih murah dibanding turis-turis macam kami ini.
Semua yang dibilang Toan benar adanya kecuali soal Wifi. Kursi selonjor bisa ditekuk ke belakang, supaya bisa rebahan. Yang tidak dijelaskan adalah panjang kursi. Dengan tinggi 175 cm, kakiku ternyata tidak bisa lurus. Sedikit menekuk.


Sandal pinjam untuk turun di tempat peristirahatan
Jam 6:20 malam, bis berangkat. Sambil melihat deretan mozaic terpanjang di bantaran sungai Merah yang disusun untuk merayakan 1000 tahun kota Hanoi, aku mencoba mencari posisi yg paling nyaman untuk kakiku yg tdk bisa terlentang lurus. Sasi, dengan tinggi badan 150 cm, tidak ada masalah. Dia nampak senang sekali. Apalagi bisa lihat pemandangan di luar.
Untuk mengusir kebosanan dalam perjalanan naik bis yang lama seperti Surabaya – Yogya atau Surabaya – Jakarta, aku dulu biasa mengaitkan tempat yang aku lewati dengan sejarah tempat itu yang aku tahu. Sekarang, tidak banyak yang aku tahu soal jalur antara Hanoi dan Hoi-An. Kecuali bahwa kami akan melewati Hue, kota tua tempat terjadinya pertempuran seru antara tentara Amerika Serikat dan gerilyawan Vietcong. Bis terus melaju melalui jalanan antar kota yang gelap.
Jam 8.20, bis berhenti menjemput pasangan bule di sebuah hotel di tempat yang seperti kota level kabupaten. Di papan penunjuk arah tertulis “Thanh Hoa 58km”. Lepas dari kota itu, sopir bis menunjukkan kelakuan yang tidak jauh beda dengan sopir-sopir bis malam di Jawa; ngebut dan main seruduk, klakson-klakson kendaraan, dan ngerem mendadak. Sasi mulai nampak gelisah.
Kelakuan itu semakin menjadi hingga Sasi terbangun dan, seperti biasa, langsung mendesis tanda jengkel. Cewek bule di depan Renata juga nampak khawatir. Lalu memandangi pacar di sebelahnya seperti ingin berbagi kekhawatiran sambil agak menyalahkan pacarnya. Mungkin naik bis ini pilihan atau saran pacarnya.
Aksi nyetir ugal-ugalan itu mendadak berhenti untuk mengisi bensin. Di sini bensin pakai RON 92. Harganya sekitar 17ribuan Dong/liter. RON95 lebih mahal 1000an Dong. Murah itu, kata Son, kenalanku di Hanoi.
Sekitar 15 menit kemudian, kondektur berteriak-teriak dengan Bahasa Vietnam. Kepada bule di depanku dia bilang dengan Bahasa Inggris level primitif; “Kamu bisa turun 20 menit lagi.” Si bule nampak kebingungan. Dia merasa seperti diusir disuruh turun.
Kuperjelas dalam Bahasa Inggris semi-modern supaya semua orang paham; “Bisa istirahat 20 menit?”.
“Iya, jangan bawa sepatu. Kami sediakan alas kaki, balasnya.
Lalu dia minta aku bilang ke bule-bule di belakangku. Aku balas, bilang aja sendiri, kan cuma bilang stop fot (“s” di akhir kata sering dieja jadi “t”) 20 minutes. Maka melajulah dia ke belakang dan menjelaskan. Tapi ternyata jadi ribut karena bule-bule itu tidak paham apa maksudnya. Sasi kemudian membantu menjelaskan.
Di tempat perhentian, aku beli kopi dan pisang. Tidak kuturuti rasa laparku. Aku cuma merokok dan minum kopi. Di tempat yg lebih kotor daripada tempat pemberhentian bis di Ngawi itu, ada 2 bis lain yg memuntahkan orang-orang yg kelelahan. Mereka langsung membeli makan dan minum.

Menanti bis berangkat
Pemuda Viet di sebelahku tadi juga makan dan segera menunggu di dekat bis. Di dalam bis aku tanya dia nama tempat ini, yang langsung dibalasnya dengan bahasa isyarat, nama saya? Iya aku balas. Namanya Giang a Tua. Benar seperti itu yg tertera di KTPnya, yang dia tunjukkan padaku.
Jam 8 pagi bis tiba di Hue. Penumpang jurusan Hue dan Hoi An diminta turun untuk ganti bis. Penumpang jurusan Danang tetap di bis. Sambil menunggu, aku makan pisang yang aku beli di tempat perhentian. Pisang yang enak itu langsung terasa hambar setelah seseorang mengumumkan bahwa perjalanan dari Hue ke Hoi-An masih makan waktu 4 jam lagi.
Setelah menunggu sekitar 15 menit, sebuah bis tiba. Kali ini seperti bis biasa. Aku duduk di sebelah Sasi yang sudah kelelahan. Masih mampir di beberapa hotel untuk menjemput penumpang yg mau ke Hoi-An. Pemandangan tidak bisa begitu dinikmati. Pantai di Danang yang sudah aku nantikan karena muncul di film Apocalypse Now, nampak sepi dan bergelombang besar, dikepung jalanan besar dan gedung-gedung besar. Danang memang kota bisnis. Beda sekali dengan Hanoi yang bahagia dengan kekunoan dan kendesoan-nya.
Bis terus melaju. Melewati sebuah jembatan yang nampaknya masih baru. Berhiaskan naga. Di ujung jembatan itu ada museum kebudayaan Champa yang ingin sekali aku kunjungi. Entah kenapa bis berjalan pelan sekali sejak dari Hue. Perjalanan terasa begitu membosankan. Untunglah bis kemudian berhenti lagi. Sambil minum kopi dan makan lumpia aku ngobrol dengan seorang pemuda Vietnam. Katanya nama tempat ini Long Co, satu jam perjalanan lagi ke Hoi-An.
Ya seperti ini memang kalau naik bis, kataku mencoba menabahkan Sasi yang sudah sangat tidak sabar tiba di Hoi-An. Beberapa bule yang tadi naik bis bersamaku juga ikut di dalam bis ini dan sudah mulai berebut posisi duduk yang enak dengan sepasang suami istri Vietnam di belakang mereka, yang meminta mereka menegakkan kursi. Si ibu ngomel-ngomel terus dan meminta suaminya menegur pasangan bule yang cuek itu. Di luar, jalanan nampak semakin mengecil hingga akhirnya kami tiba di Hoi-An.
Like this:
Like Loading...
Related