Menurut Balai Penelitian Tanaman Palma Kementarian Pertanian Republik Indonesia, luas areal tanaman sagu di Indonesia mencapai 1,2 juta hektar. Sekitar 90% lahan itu berada di Papua. Lalu kenapa sekarang orang Papua semakin jarang makan sagu? Bahkan berita tentang kelaparan semakin sering kita dengar di Papua, di Yahukimo, dan belum lama berlalu di Jewa, sebuah desa dekat Aroanop, tidak jauh dari tambang Freeport.
Sejarah menunjukkan bahwa suku-suku besar di dunia ini banyak yang musnah karena perkara yang nampaknya sepele, seperti pangan dan penyakit. Menurut Jared Diamond (2013), ada banyak kasus dimana masyarakat pemburu-pengumpul tetap mempertahankan corak produksi mereka, sekalipun telah berinteraksi lama dengan masyarakat petani seperti antara suku-suku Indian di lembah sungai Colorado, Amerika Utara dan di sungai Vis di Afrika Selatan (hal.134). Yang lebih menarik dari riset Jared Diamond adalah, masyarakat di pantai utara Jerman baru beralih menjadi petani 1300 tahun setelah berinteraksi dengan masyarakat Linearbandkeramik yang tempat tinggalnya hanya berjarak 200 km dari pantai utara. Jadi bisa dimengerti kemudian, kenapa upaya pemerintah untuk memperkenalkan petani dari Jawa dengan orang Kamoro lebih banyak gagalnya. Perlu niat dan semangat untuk melihat dan mengawal transisi sejarah seperti halnya yang ditunjukkan oleh riset Jared Diamond.
Lebih jauh Jared menunjukkan bahwa suku-suku di Papua tidak pernah mendomestikasi pohon sagu atau pohon pandan besar. Mereka hanya meningkatkan produksi tumbuhan liar yang dapat dimakan itu dengan menebang pohon-pohon yang bersaing dan tumbuh terlalu dekat, menjaga alur di hutan rawa sagu, dan membantu pertumbuhan tunas sagu baru dengan membabat pohon sagu yang sudah tua (hal.137).
Seorang teman yang baru pulang dari pesisir pantai Mimika bilang bahwa sebenarnya ada jalan lain, karena umumnya masyarakat Kamoro menjual keraka (kepiting) kepada pengusaha-pengusaha. Biasanya masyarakat Kamoro mendapatkan imbalan sekitar 200 hingga 300 ribu untuk sekian kilo kepiting, tapi biasanya habis untuk rokok dan pinang. Menurut saya itu bukan jalan keluar. Itu solusi semu, seperti menyiram air kepada orang yang sedang kehausan, terasa segar tapi tapi tidak membayar dahaganya.
Usaha Pemerintah dan Dunia Usaha
Beda dengan beras, sagu memerlukan waktu lama untuk panen. Bisa lima tahun lebih menunggu sebuah pohon bisa diambil manfaatnya. Pangkur sagu sendiri, memerlukan kerja dalam waktu yang lama. Tapi pertanyaannya, kenapa beras bisa dipanen secara teratur? Kenapa sagu dan ubi, yang begitu melimpah-ruah di Papua, tidak bisa dipanen secara teratur seperti halnya padi di Jawa atau tempat lain di Indonesia?
Atas dasar itu mungkin kemudian muncul beberapa pemikiran. Pemerintah punya ide menerbitkan Peraturan Menteri No.15 tahun 2013 dengan tujuan khusus yang sangat bagus, antara lain: meningkatkan kesadaran, peran, dan partisipasi masyarakat dalam mewujudkan pola konsumsi pangan serta mengurangi ketergantungan terhadap bahan pokok beras; meningkatkan partisipasi kelompok wanita dalam penyediaan sumber pangan dan gizi keluarga, dan; mendorong pengembangan usaha pengolahan skala Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) sumber karbohidrat selain dan beras terigu. Bahkan belum lama ini terdengar rencana Perum Perhutani untuk membuka pabrik sagu di Sorong Selatan.
Selain itu ada juga inisiatif dari pemerintah dan dunia usaha, namanya MIFEE (Merauke Integrated Farm and Energy Estate) atau Proyek Perkebunan Pangan dan Energi Terpadu Merauke. Proyek yang dioperasikan oleh lebih dari 80 perusahaan ini menggunakan 2 juta hektar lahan di Kabupaten Merauke. Diluncurkan pada tahun 2010, proyek ini merupakan bagian dari Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) bertujuan untuk menempatkan Indonesia sebagai negara yang berdikari dalam hal pangan pokok. Proyek ini kemudian menjadi proyek kontroversial karena menggusur lahan perburuan dan lahan sagu masyarakat asli Kabupaten Merauke.
Di Kabupaten Mimika sendiri, kini LPMAK (Lembaga Pengembangan Masyarakat Amungme dan Kamoro) bekerjasama dengan Keuskupan Timika sedang mengupayakan budidaya sagu. Riset dan konsultasi publik telah dilakukan dan kini sejumlah lahan untuk perkebunan dan pengolahan sagu telah disiapkan di Keakwa, Mimika Barat.
Libatkan Sektor Pendidikan
Usaha pemerintah yang telah dijelaskan di atas sekarang belum nampak hasilnya. Sedangkan MIFEE kini malah jadi urusan internasional karena Indonesia dipandang sebagai negara yang tidak mengindahkan kepentingan masyarakat adat Papua.
Pemerintah perlu mengembangkan sense of crisis, bahwa sekarang ini masyarakat asli Mimika, baik Kamoro atau Amungme, sedang di ambang kelaparan. Kedua, yang namanya kebijakan itu tidak bisa serta merta mengajak masyarakat. Jika memang serius ingin melihat diversifikasi pangan, sebuah transformasi meninggalkan budaya “kalau-belum-makan-beras-itu-belum-makan” maka perlu melibatkan sektor pendidikan. Sosialisasi perlu dilakukan sejak dini mulai dari sekolah dasar dan sekolah menengah, baik melalui materi pelajaran dan contoh nyata dari para guru. Sekolah menengah atas dan Perguruan tinggi, di Papua khususnya, perlu diajak dan didorong untuk melakukan inovasi.
Penutup
Peta Ketahanan Pangan yang dilansir oleh World Food Programme pada tahun 2009 menunjukkan bahwa Provinsi Papua dan Papua Barat termasuk dalam provinsi di Indonesia yang memiliki masalah kekurangan gizi kronis (stunting) dan prevalensi underweight (kekurangan berat badan) yang cukup parah. Kita tidak perlu heran kenapa banyak anak Kamoro dan Amungme yang tidak sekolah atau tidak belajar dengan baik sekalipun sudah mengenyam pendidikan menengah atau atas. Bisa jadi karena masalah perut yang belum beres. Sebaliknya, kita perlu bertanya, benarkah bahwa orang Kamoro dan Amungme yang hidup di tengah kekayaan alam Papua, sedang berada di ambang kelaparan?
Sumber Pustaka:
- Diamond, Jared (2013), Guns, Germs, and Steel: Rangkuman Riwayat Masyarakat Manusia, Jakarta: KPG.
- Dewan Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian RI dan WFP (2009), Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Indonesia, Jakarta: PT. Enka Deli Jakarta.
- Peraturan Menteri Pertanian No.15/Permentan/OT.140/2/2013
- Forest Peoples Programme, Pusaka, Sawit Watch (2013), Manis dan Pahitnya Tebu: Suara Masyarakat Adat Malind dari Merauke, Papua. Jakarta.