Museum Loka Budaya, Jayapura

Leave a comment
Catatan Perjalanan / Papua

Sudah beberapa kali ke Jayapura, tapi baru satu kali aku mengunjungi Museum Loka Budaya yang berlokasi di Abepura, Jayapura. Itu pun karena kebetulan ada acara kantor di auditorium Universitas Cenderawasih yang bersebelahan dengan Museum Loka Budaya.

Selain Museum Loka Budaya, ada beberapa lagi tempat yang ingin aku kunjungi, yaitu Museum Daerah dan Taman Budaya di Waena ke arah Sentani. Keduanya tidak pernah aku kunjungi hingga hari ini, lebih karena tampilannya. Bayangkan saja, kedua tempat itu berada di depan tempat parkiran angkutan kota yang khas Indonesia, kumuh dan tidak tertata.

Buku katalog tempat wisata Lonely Planet edisi tahun 2007 mencatat dengan tepat mengenai Taman Budaya; the state of dilapidation of this park is a sad reflection of the general decline of Papua. Kondisi Taman Budaya yang terbengkalai adalah cerminan kemunduran Papua. Sekalipun tidak dijelaskan apa yang mundur tapi jelas bahwa yang dimaksudkan adalah kemunduran budayanya, yang terdesak dengan budaya dari luar Papua.

Tapi Museum Loka Budaya ini nampak lebih hidup. Saat aku datang , ada sebuah rombongan turis dari luar negeri yang juga datang berkunjung. Staf museum yang saat itu bertugas juga ramah dan informatif. Katanya, setiap hari ada dua kali rombongan turis mancanegara yang datang, biasanya adalah para turis yang baru saja ke daerah lain di Papua seperti Wamena atau Asmat.

Poster "Irian Jaya"

Poster “Irian Jaya”

Stoneworks

Stoneworks

Tongkat komando dari Lembah Baliem

Tongkat komando dari Lembah Baliem

Koleksi Museum

Koleksi Museum

Turis mancanegara

Turis mancanegara

Museum yang didirikan tahun  1970 ini memiliki koleksi berbagai macam artefak dan benda etnografi lainnya dari seluruh tanah Papua hingga sejumlah 2500 barang. Museum Loka Budaya banyak sumbangan dari John Rockefeller, jutawan Amerika yang menggilai budaya Papua dan akhirnya mati di Papua, Pemerintah Kerajaan Belanda, para arkeolog dan antropolog yang pernah bertugas di Papua, bahkan hingga pejabat sipil dan TNI. Itu menurut situswebnya.

Menurutku, jumlah itu memang tidak mengada-ada. Bisa jadi malah lebih dari 2500 barang. Mengingat ada sekitar 250 suku di Papua. Tentu saja belum semua warisan budayanya dikoleksi atau mungkin malah belum sempat menelurkan artefak yang bisa dikoleksi atau sudah rusak. Benda seperti Noken misalnya, memerlukan penyimpanan yang baik dan perawatan.

Di balik kekagumanku pada berbagai macam artefak di Museum Loka Budaya, tersirat kekhawatiran akan kelestariannya. Dengan suhu ruangan yang tidak stabil dan lembab, bisa jadi banyak artefak yang akan rusak.  Belum lagi masalah keamanan. Aku tidak melihat ada petugas keamanan atau kamera pengawas. Pengunjung juga bebas keluar masuk tanpa ada pengawasan dan bisa membawa tasnya. Sekalipun ada pengumuman resmi bahwa pengunjung dilarang membawa tas atau kantong.

Museum yang setiap hari buka dari pukul 08:00 hingga pukul 15:00 ini gratis. Asyik ya. Sebenarnya lebih asyik jika menyediakan brosur gratis pula dalam jumlah banyak. Ketika itu aku sempat bertanya pada salah satu staf dan katanya sedang kehabisan brosur.

Yang mengagetkan, selain benda mati, Museum Loka Budaya ternyata juga menyimpan benda yang pernah hidup alias mahkluk hidup yang sudah diawetkan. Apakah karena biawak dan kus-kus adalah bahan baku Tifa dan hiasan kepala suku-suku di pegunungan tengah, karena itu perlu diawetkan dan dipajang? Entahlah.

Kus-kus

Kus-kus

Biawak aka Soa-soa

Biawak aka Soa-soa

Mungkin selain biawak dan kus-kus, ada juga produk budaya yang lebih liat dan laten, seperti lagu dan cerita-cerita rakyat Papua atau cara orang Kamoro menangkur sagu, dipamerkan di sebuah ruangan di Museum Loka Budaya. Sebuah ruangan yang tidak sempat aku datangi karena keterbatasan waktu. “Ayo mari cepat sudah. Acara (di auditorium) sudah mau mulai. Orang sudah banyak datang itu,” kata temanku mengingatkan.

Kami berjalan kembali ke koridor depan, menyusuri lemari dan ruangan yang penuh dengan relikui dan ornamen sebuah kebudayaan. Ada yang masih hidup dan banyak juga yang sudah musnah diterjang perubahan zaman. Patung Mbikao orang Kamoro misalnya. Sekarang sudah jarang sekali muncul karena semua ritual dan falsafah hidup orang Kamoro sudah rusak dan dipandang “tidak relevan” dengan nilai-nilai yang ada di Papua sekarang ini.

Memandang pakaian "Mbi-Kao"

Memandang pakaian “Mbi-Kao”

Sebagai museum yang terletak di ibukota provinsi, Loka Budaya harus terus dikembangkan karena menjadi “juru bicara” kebudayaan Papua. Sebagai sebuah museum  yang berada di tengah-tengah sebuah kebudayaan Papua yang unik, Loka Budaya perlu berangkat menjemput semua bentuk kekayaan budaya Papua yang sekarang ini sedang berhadap-hadapan dengan kebudayaan lain.  Karena jika memang akan hilang, kita masih bisa bilang; “ah itu bisa ko lihat di Jayapura.” Sekalipun pedih, saya kira itu masih mendingan daripada kita bilang, seperti yang banyak aku dengar di Papua; “ah itu ada di Leiden sana.”

Selamat berkunjung ke museum.

The Author

Sementara ini tinggal di Timika, Papua

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s