Sirkus Intoleransi

Leave a comment
Current issues

Bahkan pada saat-saat seperti ini, di mana kita mendapat tontonan sirkus intoleransi, saya masih mendapatkan pesan damai setiap kali seseorang menyebutkan agamanya. Seperti itulah. Selang beberapa jam sebelum saya menulis catatan ini, seorang teman menyebutkan “Islam” ketika ditanya agamanya oleh staf bagian pendaftaran sebuah rumah sakit di Timika yang dikelola sebuah kongregasi suster.

Saat itu, teman saya juga tidak sadar bahwa dengan menyebutkan kata itu dia telah menyatakan pesan damai yang dengan indah diuntai dalam “Rahmatan lil alamin”. Pesan damai itu pula yang dibawa para suster, yang terwujud dalam karya bagi sesama di Kabupaten Mimika.

Di saat yang bersamaan, bagian dari kesadaran saya yang selama ini disuburkan oleh berbagai informasi dari media akibat riuh rendahnya sirkus intoleransi belakangan ini, menimbulkan berbagai catatan tentang berbagai keriuhan dalam sirkus intoleransi; tentang istri pendeta yang dilempari telur, tentang perihnya umat Katolik di Wedi yang Goa Marianya dirusak, tentang anak-anak di Padang yang dipaksa mengenakan jilbab. Tapi anehnya, hanya catatan kering saja yang muncul di benak saya. Bukan sebuah kesan, bahwa teman saya berada dalam satu kerumunan yang sedang giat-giatnya merangsek orang-orang dengan keyakinan yang sama dengan saya.

Bisa jadi kesan seperti itu yang berusaha dihasilkan oleh sirkus intoleransi yang sedang marak kita saksikan sekarang. Sebuah pertunjukan di mana kita sebagai warga negara dipaksa menyaksikan negara yang menjual tiket masuk, menyiapkan aturan main, dan menyediakan arena bagi warganya yang berbeda-beda keyakinan untuk saling bertarung. Siapa pawang dan siapa hewan jagoan sudah semakin susah dibedakan. Siapa penegak hukum dan perusak hukum juga semakin sulit dibedakan perangainya.

Dengan keadaan demikian, tidak heran jika semakin banyak orang di Papua yang terheran-heran: kenapa kami di Papua selalu dicurigai sebagai separatis dan berbagai macam cap lainnya sementara di Jawa sana ada pihak yang jelas-jelas merongrong kebhinekaan malah dibiarkan?

Sebagian teman dengan enteng mengatakan, “yah maklum, namanya juga sirkus, itu kan konspirasi si ini dengan si itu”. Setelah itu dia melenggang untuk mengurusi pekerjaannya. Kesan seperti ini pula yang diinginkan penyelenggara sirkus kepada kita; untuk membiarkan semua pertunjukan sirkus ini, karena toh pihak penyelenggara lebih tahu pasti kapan tepatnya pertunjukkan akan berakhir.

Apapun kesan yang kita dapatkan, jangan sampai kita lengah bahwa sirkus ini akan semakin besar dan mungkin akan melibatkan diri kita di dalamnya. Negara-negara yang membiarkan gejala semacam ini biasanya akan jatuh dalam cengkeraman kelompok preman berjubah, apapun jubahnya; Jerman dan Italia dengan jubah sosialisme nasionalisme, Afghanistan dan Mesir dengan jubah Islam, India dengan jubah Hindu kanan.

Indonesia rasanya sudah memilih untuk mengikuti jalan sejarah negara-negara itu. Membawa serta kita yang masih yakin bahwa negara ini didirikan untuk merayakan perbedaan.

The Author

Sementara ini tinggal di Timika, Papua

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s