Rumah

comments 2
Current issues / Papua / Tentang kota

Sebenarnya ini adalah sebentuk pelampiasan pusing gara-gara istriku sudah mulai bicara soal “punya rumah”. Benar-benar topik idaman para pria beristri…Hehe.

Sebenarnya aku juga sudah punya bayangan tempat tinggal ideal. Aku suka sekali mengkoleksi referensi rumah yang nyaman. Sekalipun dalam hal memilih tempat tinggal sering salah pilih. Mulai dari kontrakan rumah yang ternyata gaduh suasana sekitar, berhantu, dan kebanjiran.

Beberapa hari lalu aku membeli edisi spesial majalah Rumah Ide di kios majalah langgananku di Timika. Di dalamnya ada artikel mengenai Eko Prawoto, seorang arsitek muda dari Yogyakarta. Nama Eko Prawoto aku kenal ketika masih di InsistPress. Kami menerbitkan sebuah buku tentang karya dan pandangan Eko Prawoto tentang arsitektur. Sayangnya sampai sekarang aku tidak memiliki buku itu. Mas Eko ini segaris dengan Romo Mangun. Bagi Mas Eko, arsitektur adalah dialog manusia beserta segenap kemampuannya dengan alam tempat manusia tinggal. Karena itu alam tidak dilihat sebagai ancaman dan bahan bangunan disikapi sebagai “keragaman sifat alami yang dipergunakan selaras dengan kebutuhan manusia”.

Karena tema edisi spesial majalah Rumah Ide yang aku beli adalah mengenai Sustainable construction, maka Mas Eko pun membagikan pandangannya mengenai arsitektur. Dalam konteks Mas Eko, arsitektur berkelanjutan bisa dijelaskan dalam tujuh poin, tapi yang menjadi garis besar Mas Eko sepertinya adalah bahan dan ketrampilan lokal, penggunaan bahan secara efektif dan daur-ulang bahan, penghargaan atas alam sekitar, serta ruangan rumah yang multifungsi. Tapi bukan berarti Mas Eko anti teknologi, lho.

Sebagian karya Mas Eko bisa dilihat di blog milik Mas Dwi Atmoko Adi.

Interior rumah karya Eko Prawoto. Foto©Binstudio

Arsitek seperti Mas Eko Prawoto ini yang rasanya perlu datang melihat Papua. Di sini banyak sekali proyek pembangunan perumahan yang tidak beranjak dari kondisi dan kearifan lokal.

Hasilnya? Lihat saja rumah-rumah orang Kamoro di Tipuka dan Ayuka yang semuanya kusam dan tak terawat. Orang Kamoro yang sebelum datangnya senjakala megaindustri tambang di Papua terbiasa hidup di rumah dengan bahan utama gaba-gaba dan bambu mendadak diberi rumah dengan konstruksi tembok. Rumah mereka seperti benda asing berwarna tembaga yang dibuang di tengah kehijauan rimba raya. Menyolok dan saling menganggu.

Perumahan di Ayuka, Timika

Rumah di Timika Pantai

Perawatan bangunan tembok tentu membutuhkan banyak hal. Perlu mengelupas dan membeli cat untuk tembok yang sudah kusam. Sedangkan rumah asli orang Kamoro bisa diperbaiki dengan dukungan alam sekitar.

Bagi aku sendiri, konsep Mas Eko ini seperti tawaran minum es teh di tengah gerah iklan perumahan. Bisa kubayangkan rumahku nanti dibangun secara bertahap, menggunakan bahan secara efisien, serta apik-selaras dengan lingkungan sekitar dan nyaman. Seperti rumah karya Mas Eko yang ada di blog ini.

Tentu saja, jika ingin membangun sendiri tentu saja tantangannya adalah tanah. Membeli tanah di kota seperti Surabaya, Malang, atau Yogyakarta harus siap pusing dengan lokasi dan harga. Di Timika pun rasanya sekarang masalahnya hamper sama dengan kota-kota di Jawa sana.

The Author

Sementara ini tinggal di Timika, Papua

2 Comments

  1. fendry p says

    gak sengaja nemu blog mu, coy. pas lagi searching tentang bajo. hahahah… dahsyat. banyak sekali tulisan oke nih di sini. tapi aku browser ku juga lagi banyak yg terbuka menanti disapa. aku pasti mampir ke sini menyantap ocehan-ocehanmu heheheh. congrats ya!

    ps: semoga rumah idamanmu segera terwujud 🙂

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s