Ribuan Kilometer dari Patung Pembebasan Irian Barat

comments 6
Catatan Perjalanan / Papua
From Akimuga

Helikopter yang mengangkut kami akhirnya mendarat di lapangan SMP Negeri Akimuga di Kiliarma. Biasanya setiap helikopter mendarat, lokasi pendaratan akan segera dipenuhi anak-anak. Tapi kali itu tidak. Hanya ada Pak Frans Pogolamun, Kepala Sekolah SMP Negeri Akimuga, yang berdiri di beranda bangunan kayu bercat merah muda. Dia sendirian menahan deru angin helikopter dan tidak sadar bahwa sebuah payung yang tergeletak di sampingnya diterbangkan angin hingga jauh ke halaman belakang gedung itu.

Sesaat setelah helikopter pergi, Pak Frans segera menyambut rombongan kami. Tidak lama kemudian nampak seorang pria lain muncul dari gedung sekolah bersama beberapa anak sekolah. “Selamat datang…” sahutnya sambil memilih pijakan tanah yang bebas dari lumpur. Di belakangnya, anak-anak berjalan dengan gontai dan bergantian mengucapkan salam dengan ekspresi datar.

Tidak lama kemudian datang perintah dari Pak Frans bagi anak-anak sekolah itu untuk mengangkut barang-barang bawaan rombongan kami ke rumah Mama Kristina Kemong.

Kami segera menempuh jalan utama di Kiliarma. Di sepanjang sisi jalan, hanya ada beberapa bangunan dari kayu yang sudah lapuk dan kosong. Selebihnya adalah semak-semak yang membatasi jalan dengan hutan rimba. Serombongan kecil orang Toraja yang membawa peralatan memancing berpapasan dengan kami. Mereka hendak pergi memancing di pelabuhan. Anak-anak sekolah sudah jauh mendahului rombongan kami.

Tiba-tiba di sebuah kompleks bangunan rombongan kami berhenti. Pak Frans Pogolamun hanya menjawab singkat ketika aku bertanya kenapa kita berhenti, “lapor dulu ke aparat.” Ternyata kompleks itu adalah asrama Brimob. Pak Yohan Zonggonau bergegas masuk beranda asrama dan berbicara dengan beberapa anggota Brimob yang sedang duduk-duduk. Di situ mungkin Pak Yohan menyebutkan nama-nama orang di rombongan ini; aku, Romo Teguh, Bu Ros, Pak Anton Rerung, dan Mama Kristina Kemong.

Setelah beberapa saat Pak Yohan keluar dan berjalan mendahului kami menuju ke sebuah bangunan di seberang asrama Brimob, kantor Koramil yang berdiri tepat di samping barak Batalyon Infantri 571/Eme Neme Kangasi. “Lapor lagi?” tanyaku pada Pak Frans. Yang aku terima sebagai jawaban hanya sebuah anggukan.

Para Brimob dan tentara yang ditugaskan di sini kebanyakan masih muda dan sekilas nampak seperti anak kuliah yang sedang nongkrong di kost mereka. Kami langsung melanjutkan perjalanan setelah Pak Yohan selesai wajib lapor.

Jalan yang kecil dan berlumpur yang kami lalui ini ternyata adalah jalan arteri Kiliarma. Terbentang lurus dari pelabuhan di selatan dan menghubungkan pusat distrik Akimuga lokasi SD YPPK Belakmakma, Puskesmas, kantor polisi, kantor distrik, gereja, serta kompleks aparat militer tempat rombongan kami harus lapor beberapa kali.

Selain sekolah, Puskesmas, dan kompleks aparat, semua bangunan yang kami lalui nampak kosong dan tidak terawat. Beberapa rumah penduduk juga nampak tidak berpenghuni. Tidak banyak orang yang bisa disapa, tidak banyak hal untuk dibicarakan. Rombongan kami berjalan seperti sekelompok orang tersesat.

***

Distrik di sebelah timur Kabupaten Mimika ini menyimpan sejarah perkembangan orang Amungme, salah satu suku pemangku hak ulayat di Kabupaten Mimika. Orang Amungme di Akimuga berasal dari daerah pegunungan seperti Waa, Noema, Bella, Alama, dan Tsinga. Mereka diajak bermigrasi ke daerah dataran rendah oleh Gereja Katolik dan dipimpin oleh Mozes Kilangin pada akhir dekade 1950-an.

Setelah penerapan Otonomi Khusus pada tahun 2001 dan pemekaran Kabupaten Mimika dari Kabupaten Fak-Fak, Akimuga saat ini adalah sebuah distrik yang terdiri dari kampung Amungun, Aramsolki, Fakafuku, dan Kiliarma sebagai pusat distrik.

Distrik ini tidak memiliki akses yang memadai ke pusat Kabupaten Mimika di Timika, karena dibatasi kawasan kontrak karya PT Freeport Indonesia yang membelah wilayah Kabupaten Mimika menjadi dua bagian dan kawasan Taman Nasional Lorentz yang mengurung distrik Akimuga. Akimuga bisa dicapai melalui perjalanan lewat sungai selama 10 jam. Pilihan lainnya adalah dengan pesawat Mimika Air milik Kabupaten Mimika atau helikopter milik Airfast.

Di Akimuga orang Amungme mendapatkan lebih banyak tanah untuk berkebun dan para misionaris memiliki akses yang lebih mudah untuk menjangkau masyarakat Amungme. Para misionaris tidak perlu menantang jajaran pegunungan Jayawijaya. Mereka bisa menjangkau orang Amungme dari basis misi di Kaokanao dengan menggunakan perahu atau jalan darat yang datar.

Pindah ke dataran rendah berarti orang Amungme tinggal di wilayah adat orang Kamoro, suku yang mendiami daerah pesisir timur Papua, yang sudah sejak tahun 1920an melakukan kontak dengan pemerintah Belanda. Tapi rupanya para misionaris dan pemerintah Belanda sebelumnya sudah mempersiapkan perpindahan itu dengan baik.

Orang Kamoro dengan senang hati menerima saudara-saudara mereka orang Amungme tinggal di dataran rendah. Sekalipun demikian tidak semua orang Amungme ikut turun gunung. Sebagian masih tinggal di gunung hingga saat ini sekalipun tempat tinggal mereka sudah menjadi daerah operasi PT Freeport Indonesia sejak tahun 1967.

Maka dibukalah beberapa daerah baru di timur sungai. Orang Amungme dari Belakmakma tinggal di Kiliarma, dari Bulujaulaki tinggal di Amungun, dan dari Putsinara di Aramsolki.

Para pemudanya mendapatkan pendidikan hingga tingkat SD. Tamat SD mereka meneruskan SMP di Kaokanao, dengan biaya dari orang tua mereka sendiri. Pak Abraham Timang misalnya. Pria asal Kiliarma ini dulu biasa menjual kayu bakar di Kaokanao untuk memenuhi kebutuhan hidupnya selama sekolah.

Aku membayangkan Pak Abraham kecil menyusuri jalan setapak ini ke arah pelabuhan meninggalkan kampungnya menuju ke Kaokanao. Apakah dia juga berjalan dalam sepi seperti kami sekarang ini?

Beberapa anak kecil muncul dari sekolah. Seperti anak Papua di Mimika lainnya mereka membalas sorot kameraku dengan sorot mata mereka yang penuh keceriaan dan gairah kehidupan. Beberapa langkah dari sekolah Mama Kemong mempersilakan kami masuk ke tempat tinggalnya.

Tempat tinggal Mama Kemong berbentuk rumah panggung dari kayu. Ruang tengahnya cukup luas. Cukup luas untuk dipecah menjadi sebuah ruang tamu, dua kamar dengan dinding tripleks, dan sebuah ruang keluarga. Kamar mandi dan tungku perapian diposisikan di sisi kanan dan kiri rumah.

Hanya Romo Teguh yang ngeh bahwa bangunan yang ditempati Mama Kemong itu bekas gereja. Mama Kemong memang terpaksa menempati gereja yang terlantar itu sebagai rumah tinggalnya. Sama seperti guru lainnya di Akimuga, rumah dinas guru yang dijanjikan Dinas P&P tidak kunjung jadi sekalipun mereka sudah bertahun-tahun mengajar. Para guru umumnya numpang tinggal di rumah penduduk atau menempati rumah/bangunan yang sudah ditinggalkan.

Cerita Mama Kemong tidak hanya berhenti di situ. Seperti umumnya orang Papua, Mama Kemong tukang cerita yang hebat. Salah satu ceritanya adalah tentang ular. Dia ceritakan dengan detail dan hidup sekali tentang pengalaman seorang mama yang berusaha menangkap ular tapi malah menimbulkan kehebohan di Kiliarma karena ularnya lepas. Apalagi kalau sudah cerita mop.

Beberapa saat kemudian, Pak Albertus Tsolme, Kepala Sekolah SD YPPK Belakmakma, ikut datang bergabung. Pak Yohan Zonggonau mengutarakan maksud kedatangan rombongan kami, yaitu untuk merekrut anak-anak Akimuga untuk masuk di Asrama Penjunan milik LPMAK (Lembaga Pengembangan Masyarakat Amungme dan Kamoro).

Mama Kemong dan Pak Tsolme spontan menyambut gembira permintaan Pak Yohan untuk membuat daftar anak-anak yang bisa masuk Asrama. Menurut mereka, anak-anak perlu mendapatkan pendidikan yang baik. Tinggal di Akimuga tidak membuat mereka maju. Kebanyakan guru tidak betah tinggal di Akimuga dan memilih tinggal di Timika. Biasanya mereka baru muncul saat ujian. Selain itu dengan tinggal di asrama, anak-anak akan terhindar dari pengaruh buruk seperti mabuk.

Parahnya, yang kerap mengajak mabuk adalah anggota Koramil Akimuga. Anak-anak yang kebetulan sedang lewat di depan Koramil dicegat dan diajak mabuk. Kalau menolak dipukuli. Kalau sudah “mabuk hancur”, mereka akan berjalan keliling kampung dan menggedor rumah-rumah penduduk untuk minta makan atau tanpa alasan yang jelas.

Rumah Mama Kemong sendiri pernah beberapa kali disatroni gerombolan pemabuk. Oleh karena itu, setiap mulai gelap, Mama Kemong selalu memastikan tidak ada barang berharga yang tertinggal di luar rumah dan mengunci semua pintu dan jendela. Aku jadi ingat beberapa hal.

Pertama, dalam perjalanan pulang dari Ayuka, kampung orang Kamoro di selatan Timika, mobilku sempat dicegat dan dilempar batu oleh beberapa orang “anggota” yang marah karena aku menolak permintaan mereka untuk menumpang.

Kedua, beberapa kisah mengenai Akimuga. Seperti kisah Pak Yoseph Deikme yang tinggal di SP (Satuan Pemukiman) 9. Pak Yoseph kelahiran Akimuga, tapi sudah lama dia meninggalkan Akimuga dan belum berniat kembali hingga sekarang. Dia meninggalkan Akimuga pada akhir tahun 1970-an dan mengenangnya dengan penuh kesedihan.

Saat itu “ABRI” datang ke Akimuga untuk menghancurkan kekuatan OPM dan menangkap Kelly Kwalik, orang Amungme mantan guru yang kemudian jadi salah satu pimpinan OPM. Akimuga (dan Jila, sebuah desa di pegunungan tengah) dianggap sebagai basis dan jalur perlintasan Kelly Kwalik. Kedatangan tentara ke Akimuga ini dipicu oleh perang gerilya OPM di daerah pegunungan tengah dan peledakan pipa konsentrat PT Freeport Indonesia.

Bukannya merasa aman, warga Akimuga malah ketakutan setiap melihat tentara Indonesia. Tidak peduli tua muda, setiap ada barang datang di pelabuhan semua orang Amungme yang ada di kampung dipaksa mengangkut barang-barang dari pelabuhan ke Amungun yang jaraknya sekitar 10 km. Siapa berani menolak berarti dia anggota/simpatisan OPM. Kalau sudah seperti itu, hanya air mata yang “jatuh berguguran”, kata-kata dan perasaan terhina disimpan dalam-dalam.

Kisah sedih lainnya aku dengar dari Pak Abraham. “Waktu itu orang Papua dianggap binatang, pak,” kata Pak Abraham. “Pesawat kasih jatuh bom di kampung,” sambungnya. Menurut Pak Abraham, kejadian itu terjadi ketika dirinya masih SD, sekitar tahun 1978. Setelah dia meninggalkan Akimuga, tidak banyak lagi yang dia tahu tentang nasib orang-orang yang mati dan keluarga yang ditinggalkan. Yang dia tahu, mereka yang mati dikuburkan bersama-sama di sebuah lokasi yang sekarang jadi hutan pohon karet.

Orang Amungme yang aku temui umumnya selalu antusias untuk membicarakan hal ini, tapi seperti tidak berniat menjadikannya sebagai hal yang serius. Cuma sekedar obrolan sambil lalu saja. Kecuali mungkin Pak Titus Kemong, yang memandang “perang besar” di Akimuga itu perlu diungkap atau paling tidak diingat.

Sama seperti Pak Abraham, Pak Titus meninggalkan Akimuga setelah lulus SD. Pak Titus yang sekarang bekerja di LPMAK ini beberapa kali berkunjung ke Jawa untuk mengunjungi anak-anak dari Kabupaten Mimika yang sekolah di Jawa dan ikut pelatihan pengembangan kapasitas.

Dalam sebuah kesempatan kunjungan di Bandung, Pak Titus beristirahat di sebuah taman setelah seharian ikut pelatihan. Tak berapa lama kemudian datang beberapa orang bergabung di warung es cendol tempat Pak Titus nongkrong. Mereka menanyakan banyak hal kepada Titus, mungkin karena terlihat sangat berbeda dengan orang di taman itu. Pak Titus, yang awalnya menjawab pertanyaan mereka sambil lalu, mendadak memalingkan pandangannya ketika kedua orang itu mengaku pernah bertugas di Akimuga. “Kalian pelanggar HAM! Mana komandan kalian?” bentak Pak Titus.

“Saya langsung minta diantar ke markas Kopassandha,” kata Pak Titus. Di situ, Pak Titus langsung bertemu dengan komandannya. Pak Titus sudah lupa namanya. Yang jelas Pak Titus langsung menyampaikan pelanggaran HAM yang dilakukan satuan itu di kampung halamannya pada akhir tahun 1970-an. Sikap keras Pak Titus ditanggapi dengan tenang oleh komandan itu, yang tidak pernah bertugas di Akimuga. Pembicaraan langsung berubah total ketika Pak Titus mengetahui bahwa komandan itu beragama Katolik. Bahkan Pak Titus sempat berkunjung ke rumahnya.

Sedangkan Mama Kemong sendiri mengaku, dialah satu-satunya marga Kemong yang tersisa di Akimuga saat ini. Sisanya sudah mati dan sebagian yang selamat memilih meninggalkan Akimuga.

Bukan hanya tentara yang membunuhi orang Amungme saat itu, tapi juga orang Dani dari pegunungan tengah, yang entah bagaimana mendadak muncul di Akimuga. Padahal tidak ada perkara antara orang Dani dan orang Amungme yang biasanya menyulut perang suku seperti pembunuhan, pencurian, atau perzinahan. “Kejam sekali mereka,” kata Mama Kemong mengakhiri cerita sambil membongkar-bongkar noken-nya yang besar sekali.

Sejak “perang besar” itu, tutur Pak Abraham, kehidupan di Akimuga semakin lesu. Tidak ada lagi asrama, sekolah perkebunan, dan lahan perkebunan. Banyak warga Akimuga memilih meninggalkan Akimuga dan memulai hidup baru di Timika.

Menjelang sore, Pak Albertus pamit untuk menyiapkan pertemuan rombongan kami dengan para orang tua dan beberapa tokoh masyarakat. Sebelum pergi, Pak Albertus menyampaikan bahwa sebaiknya ada asrama untuk anak-anak di Akimuga. “Biar seperti pendidikan zaman dulu,” kata Pak Albertus.

Ternyata harapan Pak Albertus adalah harapan semua orang Akimuga yang hadir pada pertemuan itu. Bahkan “para orang tua sudah merelakan tanah adat mereka untuk pendidikan anak-anak Amungme”, kata Pak Robert Deikme sekretaris desa sambil menunjuk tanah kosong di belakang sekolah.

***

Keesokan harinya rombongan kami harus kembali berjalan ke halaman sekolah SMP Negeri Akimuga untuk menunggu jemputan helikopter. Kami berjalan bersama dengan beberapa murid SMP dari Bela dan Alama yang tinggal di sebuah rumah kosong di seberang “rumah” Mama Kemong. Pak Albertus Tsolme ikut ke Timika untuk mencari guru-guru SD YPPK Belakmakma yang “kandas” di Timika.

Kami kembali melalui kantor Koramil, Yonif 571, dan Brimob yang saling berhadapan. Pak Yohan kembali mampir untuk pamit pulang sambil ngobrol-ngobrol dengan para anggota Yonif 571 di beranda barak mereka. Sisa rombongan kami memilih menunggu di Puskesmas Akimuga.

Dari kejauhan nampak seorang anggota tiba-tiba keluar dari dalam barak sambil menenteng senapan SS-1 dan bersenda gurau. Setelah mengokangnya dan memilih posisi di dekat Pak Yohan, dia mengarahkan senapan standar TNI itu ke udara dan suara letusan senjata menghiasi langit Akimuga, “Dorr..!!!”. Wajah Pak Yohan langsung berubah jadi tegang.

“Ga kena…ga kena…” sambut para anggota Brimob di seberang barak Yonif. “Rentetan boleh…” sahut salah seorang anggota Brimob. Di belakangnya seorang anggota Brimob lainnya keluar sambil menenteng AK-47 dan menembakkannya. “Krakkk…krakk…” suara rentetan khas AK-47 itu tentu tidak mampu ditiru SS-1.

“Biasa itu, mereka kasih habis peluru sebelum pulang ke Timika,” kata dokter Puskesmas sambil mengajakku dan Romo Teguh masuk ke dalam Puskesmas.

Sepasang bapa mama dan anak mereka melanjutkan langkah mereka yang tadi terhenti karena mendengar suara tembakan. Mereka mau ke Puskesmas mengantar anak mereka yang sakit. Anak-anak di SD YPPK Belakmakma dan SMP Negeri Akimuga pasti sudah hilang kagetnya dan kembali melanjutkan pelajaran mereka, sekalipun tidak ada guru di kelas.

Di sini, ribuan kilometer jaraknya dari patung pembebasan Irian Barat di Jakarta, orang Amungme berusaha membebaskan diri mereka dari kenangan mengerikan masa lalu dan menatap masa depan mereka. ***

The Author

Sementara ini tinggal di Timika, Papua

6 Comments

  1. mop papua memang lucu tapi perlu ko tau kalu setiap mop punya arti yang dalam………….. Peace Indonesia

  2. Jika Kita Turun ke seluruh pelosok Tanah Papua New Guinea Barat (Papua) menyimpan banyak hal yang dianggap Mob Lucu bagi NKRI dan bagi Bangsa Papua New Guinea Barat sungguh kisah sangat mengerikan dari pandangan Masyarakat Dunia terhadap Bangsa PNG Barat ini.

    Bangsa Papua New Guinea Barat telah Hilang Harapan Kehidupan Masa Depan dalam bayang-bayang kekejaman NKRI.

    NKRI memang engkau NKRI seperi namamu NKRI (Negara Kolonial Republik Iblis [Indonesia]).

    Amanat dan Mukadima Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia menyatakan “Bahwa Sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah H SEGALA BANGSA, maka penjajahan di atas dunia harus dihapausakan karena tidak sesuai dengan peri-Keadilan dan Peri Kemanusiaan,…” sungguh sangat ironis karena memang negara juga namanya NKRI.

    UUD dan Hukum Hanya TOPENG yang sudah didesain sebaik mungkin.

  3. Arifuddin Nasution says

    Saya Arifuddin Nasution pernah mengabdi jadi guru di SMP Negeri Akimuga sekitar tahun 1986-1990. Beberapa siswa yg masih saya ingat antara lain, Paulus, Petrus, Yosef, Albertina Amunatmang dan Yohana Amunatmang adiknya. Kalau gak salah diujung pengabdian saya di smp akimuga datang seorang guru muda yg baru lulus dari Uncen Abraham atau entah siapa namanya saya tidak begitu ingat. Bagi saya kiliarma, amungun, aramsolki begitu berkesan dan mempesona. Masyarakat disana memanggil saya “urue” karena profesi saya guru. Masyarakat amungme sbg penghuni wilayah dataran akimuga sangat familiar. Seringkali diwaktu terang bulan saya larut dalam tarian “Seka” bersama mereka. Sekarang semua tinggal Kenanga sebab saya sudah kembali ke Medan kampung halaman saya. Amolongo nerege, amolongo nie, amule meno….

  4. arifuddin nasution says

    Betul Pak Onny Wiranda, sejak 2012 saya ditugaskan sebagai kepala SMP Negeri 6 Medan. Besar sekali keinginan saya untuk berkunjung ke akimuga, yah… sekedar melepas rindu bersama orang2 yang masih ada barangkali di sana. Mungkin pak Onny bisa kasi saran bagaimana akses termudah sekarang mengunjungi akimuga…..

Leave a reply to arifuddin nasution Cancel reply