30

comment 1
Tentang kawan

Dulu aku pernah bernazar tidak akan merayakan ulang tahunku yang ke tiga puluh di Surabaya. Dua ulang tahunku sebelumnya aku rayakan di Yogyakarta. Rasanya kok seperti balik kucing gitu lho, kata orang Jawa, kalo merayakan di Surabaya.

Bukannya aku benci Surabaya. Tapi ya mau gimana lagi meno, Surabaya kurang pas buat aku. Sama seperti kamu merasa kurang pas tinggal di Nabire dan malah betah berlama-lama di Timika, kota yang katanya kota terkotor di Papua ini. Ah sudahlah, ini kita tidak sedang bicara soal Timika, tapi soal umur dan soal pilihan-pilihan. Kadang memang ada hal yang tidak bisa kamu perdebatkan. Termasuk soal di kota mana kamu merasakan dirimu berkembang pesat dan di kota kamu merasa mandek tidak bergerak.

Dan soal ulang tahunku, eh kok ya keturutan ga ngerayain di Surabaya. Malah di tempat yang jauh banget dan tidak pernah aku bayangkan bakal aku tinggali, di Papua. Tapi justru di tempat ini aku menemukan banyak hal soal diriku.

Dulu di setiap ulang tahun aku biasa bikin semacam evaluasi diri dan resolusi ke depan. Kali ini tidak. Dan bukan karena sibuk kerja atau jauh dari teman-teman, tidak. Sekalipun kamu menyampaikannya dengan urat lehermu meninggi dan dengan nada nyaris-histeris, pendapatmu pantas aku catat. Selain memang benar adanya dan karena rasanya aku pernah dengar dari seorang penulis (Albert Camus kalau tidak salah), tapi karena pendapatmu itu merupakan kesimpulan atas hal yang aku rasakan akhir-akhir ini. Kamu bilang kalau pada umur 30 tahun orang itu harus benar-benar memahami dirinya, apa saja kelemahan dan kualitas dirinya, mengerti kemampuan diri dan memperkirakan kegagalan-kegagalan yang akan dihadapi. Dan yang lebih penting, menerima semua dirinya apa adanya.

Aku pikirkan hal itu saat aku pelan-pelan merayap kerangka penyangga tulisan Jayapura City di pemancar di Jayapura. Dari situ kamu bisa melihat kota Jayapura yang nyaman terlindung Teluk Apo dan dikaruniai lanskap kota yang luar biasa indahnya karena dipeluk oleh gugusan bukit-bukit. Samudra pasifik yang mahadahsyat dan pernah menjadi medan laga Perang Dunia II itu seperti ikut terdiam menyaksikan Jayapura. Kalau saja saat itu aku mendengar suara jeritan burung-burung camar, seperti nada dering telepon genggammu, mungkin aku akan langsung melompat ke bawah. Begitu indahnya aku jadi pengen mati di situ.

Tapi tanpa terjun bebas pun sebenarnya aku sudah mati, atau paling tidak ada bagian dalam diriku yang selama ini begitu menguasai diriku diam-diam meloncat ke bawah. Ini masa baru. Tidak bisa lagi aku membanding-bandingkan semua peristiwa, menimbang-nimbang kelemahan dan keunggulan diri seperti dulu. Sekarang aku (kok anehnya) sudah semakin dekat dengan Samudra Sangkan-Paran, maha rahim asal dan tujuan diri, harus semakin belajar membaca angin dan tidak menggulung atau memutar layar sambil berteriak-teriak tapi dengan penuh keteguhan bahwa aku akan mencapai tujuan dengan selamat.

Selamat ulang tahun, diri.

The Author

Sementara ini tinggal di Timika, Papua

1 Comment

  1. wah onie semakin dewasa kayanya ato emang udah seharusnya.

    tulisan yang bagus, tapi kok ada sedikit perasaan tersirat bahwa kamu tidak ingin diikat dengan nilai-nilai atau pemahaman tentang hidup yang dipegang oleh banyak orang.

    kmu berusaha lebih santai dan mengikuti arah kemana angin akan membawamu.

    sori lho klo komennya tidak berkenan.

    tapi kok rasanya cukup menenangkan otakku yang mulai berpikir terlalu rumit tentang hidup.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s