Masih Sulit Menerima Ini Sebagai Kebetulan

Leave a comment
Tentang kawan

Keiko…

Bulan Oktober aku lalu seorang teman yang sedang bingung bagaimana caranya membaca cerpen. Dalam beberapa hari mendatang dia harus membacakan cerpen itu di sebuah launching buku. Kira-kira dua bulan sebelumnya aku menemukan cerpen itu di tumpukan cerpen yang sedang aku edit. Karena cerpen itu datang melewati tenggat waktu pengumpulan naskah, aku agak merunduk-runduk membacanya. Rasanya seperti menyelidiki pulau Galapagos di bawah ancaman meriam-meriam kapal Prancis. Siapa nama ilmuwan malang di film The Master & the Commander itu?

Kemudian sebulan di antara dua kejadian di atas, aku membaca cerpen itu di sebuah koran terkenal. Baru saat itu membaca cerpen itu dengan sungguh-sungguh. Dalam hati aku berpikir: bagaimana dia bisa membuat cerpen itu? apakah sebelumnya dia kebanjiran? atau sebelumnya dia membaca riwayat Musa di Alkitab? atau di Quran?

Judul cerpen itu Air Raya. Aku sudah lupa persis isinya, tapi yang jelas ada Musa dan Ibunya di cerita itu. Kelanjutan ceritanya berkisar di hari-hari menjelang datangnya air bah yang membinasakan manusia, serta Musa dan ibunya.

Di launching cerpen itu aku bertemu si penulis cerita dan bicara sedikit. Dia memakai kaos oblong putih dan sedang menghabiskan rokok Samsoe-nya sambil mengamatiku dengan cermat. Bentuk wajah dan rahangnya seperti pelaut-pelaut Bugis, keras. Tapi sorot matanya seperti pelaut-pelaut Prancis yang kapalnya dikejar-kejar kapal Inggris di lepas pantai Brazil.

Setelah dua batang rokok aku meninggalkannya, ada teman yang harus aku jemput. Malamnya, dia membacakan cerpennya seperti sedang membaca pamflet demonstrasi.

Setelah itu aku tidak pernah ketemu dia lagi. Tapi temanku yang kebagian membaca cerpen Air Raya menjadi cinta sekali dengan cerpen itu. Di mana-mana dia kutip paragraf awal cerpen itu: Ketika air raya tiba, perahu itu akan memanjang beberapa depa…

Sekarang ternyata air raya benar-benar tiba. Sehari sesudah Natal. Tidak di halaman-halaman koran atau buku. Tapi di kampung halamannya sendiri, Aceh, dan di beberapa negara lain. Di televisi aku lihat mayat-mayat bergelimpangan dimana-mana, rumah-rumah hancur, anak-anak kecil hanyut. Sekarang setelah empat hari aku terus-terusan mengikuti perkembangan bencana itu, aku jadi tambah sesak. Kenapa tidak banyak bantuan yang masuk?

apa karena jalur transportasi ke sana benar-benar hancur? Atau karena Atjeh masih tertutup bagi bantuan asing, yang bentuknya terkadang lebih masuk akal dan diperlukan daripada sekedar “kunjungan dan dialog” pejabat republik ini? Kalau memang seperti itu, aku mungkin akan menyalahkan semua institusi bersenjata di Atjeh karena sudah membuat begitu banyak huru-hara selama ini. Bisa jadi karena huru-hara itu begitu memalukan dan sadisnya, sebuah institusi bersenjata yang suka menyiksa dan membunuh orang biasa (tidak hanya di Atjeh, tapi juga di Timor, Papua, dan banyak tempat lagi), memutuskan untuk menutup provinsi itu dari intipan bangsa lain. Sekaranglah mereka harus menuai akibat dari perbuatan mereka.

Keiko…

Besok ada misa di Katedral jam 18:00, khusus mendoakan korban bencana di Aceh dan Sumut. Kamu datang kan? Ajak si Ranu sekalian, biar dia nggak busuk di rumah. Tolong juga sampaikan ke dia, aku masih susah menerima ini sebagai kebetulan belaka.

Olu

The Author

Sementara ini tinggal di Timika, Papua

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s