Jangan Ada BuzzeRp di Antara Kita 

Leave a comment
Current issues

Hari minggu pagi kemarin cuacanya cerah dan sejuk. Jam 7 pagi matahari bersinar lembut dan angin berhembus sejuk. Setelah lari beberapa kilometer, aku berpapasan dengan seorang perempuan yang lagi lari pagi dengan anjingnya. Jilbab sport warna hitamnya yang berkibar kena angin pagi dan wajah anjingnya yang ceria seperti mengabarkan kemungkinan2 kebahagiaan di minggu baru. 

Di Bali, pemandangan yang seperti itu adalah hal lumrah. Kalau lari lewat jalanan desa yang sepi atau jalanan perumahan, kamu juga akan banyak ketemu akamsi (anjing kampung sekitar).

Ada anjing yang ramah tapi ada juga yang iseng gonggong2. Bagi yang ga biasa, digonggongi dan dibuntuti anjing, apalagi dalam jumlah lebih dari satu ekor, pasti adalah pengalaman yang menakutkan. 

Saya sendiri perlu waktu beberapa bulan buat menyesuaikan diri dengan anjing2 di Bali. Pada akhirnya saya jadi ga takut bukan karena dengerin tips2nya Cesar Milan. Tapi karena biasa ketemu aja. 

Sekarang ini kalau lagi lari dan ketemu anjing2, yang saya lakukan adalah berhenti lari. Ganti ke jalan kaki. Lalu kadang bilang permisii mau lewat. Kalau masih gonggong sambil mengikuti, saya cuekin saja. Tapi kalau gonggongannya semakin terdengar agresif, saya tinggal berbalik dan bentak sambil acungkan jari, setop!! Biasanya ini ga langsung bikin gonggongan berhenti, tapi bikin anjing itu jadi keder sama kita. 

Saya pernah dihadang sama anjing yang ukurannya nyaris segede anak sapi. Tapi dengan ketenangan diri yang sudah saya pelajari beberapa bulan ini, jadinya ya tinggal berhenti lari dan permisi mau lewat. Pernah juga digigit. Bukan sama anjing yg sangar, tapi sama anjing pom kecil yang terkenal cerewet itu. Rasanya seperti digigit gemes sama kucing. Tapi biar kucing sekalipun kalau sdh urusan menggigit bisa serius. Telapak kaki kanan saya sempat bengkak selama beberapa hari karena digigit si Minku kucing saya.  

Dibandingkan kucing, wajah anjing itu lebih ekspresif. Kita bisa langsung tahu dia lagi senang, takut, atau marah. Tapi sekalipun ekspresif, tidak bisa ditebak. Persis seperti yang ditulis Basuki Gunawan dalam novelnya, Winarta. 

Di salah satu postingan di akun stravanya, teman saya seorang pelari mencatat bahwa lari di dekat daerah rumah ini saya tidak enak. Too many dogs. Terlalu banyak anjing, katanya. Saya tahu dia bukan orang yang takut anjing. Saya menduga itu karena dia risih dikejar anjing saat lagi lari dan sudah nemu pace yang nyaman. 

Buat pelari rekreasional seperti saya ini, keberadaan anjing2 Bali itu justru bikin acara lari jadi seru. Seperti ketemu tim cheering atau penggembira di sepanjang perjalanan. 

Dari pengalaman saya, yang gonggongannya paling keras itu biasanya anjing2 gelandangan yang takut atau kaget melihat saya lewat. Apalagi kalau lagi lari di malam hari dengan headlamp menyala di kepala. 

Mereka memang ramai tapi ga berisik. Yang berisik dan bikin kita jadi tergidik terdistraksi itu justru ada di media sosial. Namanya buzzer alias pendengung.

Menurut pengamat media sosial Enda Nasution, buzzer adalah akun2 di media social yang tidak punya reputasi untuk dipertaruhkan. Biasanya tidak jelas identitasnya. 

Tujuannya menimbulkan kebingungan. Membuat masyarakat terjebak dalam popularisme. Yang paling populer itulah yang benar. Yang komentarnya paling banyak itulah pendapat yang benar. Yang jumlah view atau klik banyak itulah yang benar. 

Satu akun buzzer menanggapi komentar saya di artikel media online Kompas.com soal pencalonan Soeharto sebagai pahlawan. Tanggapan akun buzzer itu ternyata banyak sekali saya temukan di media sosial. Biasanya mereka menganggap yang tidak setuju dengan pencalonan Soeharto adalah seorang simpatisan PKI. 

Setelah membaca laporan Drone Emprit soal sentimen publik terhadap rencana pemberian gelar pahlawan nasional ke soeharto, saya jadi paham kenapa buzzer2 itu begitu gencar membanjiri kolom2 komentar akun2 berita dan akun2 pribadi yang kontra daripada pemahlawanan soeharto. Drone Emprit mencatat bahwa sentimen publik di media online lebih banyak yang positif (64%). Tapi di media sosial, sentimennya lebih banyak yang negatif (63%). 


Sentimen positifnya paling banyak mengusung soal soeharto berjasa membangun ekonomi Indonesia. Kalau memang soeharto hebat, seharusnya dengan kekayaan dari oil boom tahun 1970an dan dari tambang di Mimika, Papua, semua anak Indonesia dan Papua bisa sekolah sampai kuliah dengan gratis. Tapi nyatanya hasil dari menjual kekayaan Indonesia ke asing itu jatuhnya ya cuma ke segelintir orang saja. 


Gencarnya buzzer di medsos membela soeharto sebagai pahlawan nasional bikin saya yakin, ada yang lagi ketakutan. Toh tanpa buzzer2 itu, sudah pasti soeharto akan dijadikan pahlawan nasional oleh pemerintahan sekarang ini. 

Kalau anjing di jalanan Bali takut lihat saya lari malam2 pake headlamp, pemodalnya buzzer takut apa? 

Mungkin takut kalo sejarah resmi yang lagi ditulis ulang dengan semangat toxic positivity itu sudah usang di zaman seperti ini. Takut masyarakat makin nuntut keterbukaan akan apa yang terjadi sebenarnya di tahun 1965-66 dan rangkaian kejahatan kemanusiaan lainnya yang dilakukan rezim Orba. Takut legitimasi pemerintahannya terkikis. 

Unknown's avatar

The Author

Sementara ini tinggal di Timika, Papua

Leave a comment