Angin Musim 

Leave a comment
Buku

Penulis: Mahbub Djunaidi 

Penerbit: Inti Idayu Press, Jakarta, 1985

Halaman: 176 hal

Di hari kemerdekaan Indonesia yang ke-80 ini, saya baru tahu kalau novel Animal Farm karya George Orwell yang terkenal itu diterbitkan pada 17 Agustus 1945. Novel itu adalah alegori tentang bagaimana perlawanan hewan2 tertindas melawan tirani manusia berubah menjadi tirani yang baru. Bagi yang tidak pernah baca buku2nya George Orwell, pasti langsung mendakwa bahwa buku itu adalah kritik bagi komunisme. 

Novel yang baru mulai popular di tahun 1950-an itu diterjemahkan ke Bahasa Indonesia oleh Mahbub Junaidi dan diterbitkan pada tahun 1983. Judulnya jadi “Binatangisme.” Dua tahun berikutnya, Mahbub Junaidi menerbitkan novel berjudul Angin Musim.  

Angin Musim adalah novel dengan tokoh utama non-manusia seperti Animal Farm. Tokoh utamanya seekor kucing betina yang dilahirkan dari hasil percintaan pasangan kucing milik seorang Wedana dan peliharaan seorang pemborong. Melalui si kucing yang tidak disebutkan namanya itu, Mahbub dengan jenaka menggambarkan masyarakat yang sedang berubah. Awalnya Wedana dan pemborong itu bersahabat karena saling menguntungkan. Tapi ketika posisi dan wewenang Wedana mulai digantikan oleh Bupati, si pemborong perlahan meninggalkan sang Wedana. 

Si kucing yang dilahirkan di “tepi pasar” itu usianya masih sekitar 19 bulan ketika dia dibawa ke sebuah penjara. Tugasnya, menjaga penjara bebas dari tikus. Di penjara itu, si “Aku” berkenalan dengan dua ekor kucing lain, si Pincang dan si Keropos. 

Mahbub dengan cerdas menggunakan sudut pandang kucing, hewan yang sudah ribuan tahun hidup berdampingan dengan manusia. Dekat tapi berjarak. Manja tapi independent. Kelihatannya cuek padahal sebenarnya sedang mengamati dan mengomentari kehidupan manusia. Di penjara, bukan hanya gerakan yang dibatasi, tapi juga pikiran. Soal itu si “aku” mencatat, koran dan radio bagi manusia sama pentingnya dengan kepala ikan bagi seekor kucing, atau sebutir buah kecapi bagi seekor beruk (Hal. 51). Tanpa kepala ikan atau sebutir buah kecapi, kucing atau beruk masih bisa hidup. Tanpa informasi dan pengetahuan, manusia masih bisa hidup. Tapi hidup yang seperti apa itu? 

Penjara yang digambarkan mirip dengan suasana penjara tahanan politik di masa Orde Baru atau mungkin Orde Lama. Di dalam penjara dikisahkan ada Pak Ahmad Darul Kutni, dulunya Kepala Jawatan Kereta Api; Pak Suryodiharjo, bekas Mayor Jenderal; Pak Max Karbonari, dulunya wartawan; dan seorang bekas Menteri Urusan Bahan Makanan yang tinggal di blok “Sadar Pangkal Selamat.” Dari semua tahanan itu, hanya Pak Ahmad Darul Kutni yang berbicara dengan si kucing ketika si kucing lagi bunting (Hal. 144). 

Jika Animal Farm bercerita soal pemberontakan hewan2 ternak melawan tirani manusia, Angin Musim menceritakan solidaritas antar spesies hewan dan manusia sebagai sesama mahkluk hidup yang dirampas kebebasannya, dengan caranya masing2. Para tahanan pengen bebas dari para sipir dan kungkungan tembok. Para kucing pengen berdamai dengan para tikus dan kembali ke pasar. Kata si “Aku”: coba pikir, sedangkan antar sesama manusia, pengawal dan penghuni tahanan tidak ada damai2nya, kenapa kita mesti ikut2? Mereka mengurung bangsanya sendiri sampai lumutan, mengapa kita jadi tersangkut-paut? (Hal. 131)

Awalnya saya kira akan ada perdamaian antara kucing dan tikus lalu terjadi perlawanan atas sipir2 penjara, sama seperti cerita Animal Farm. Apalagi mengingat novel ini diterbitkan setelah terjemahan Animal Farm. Tapi ternyata revolusi tidak terjadi. Para tahanan mendengar gossip bahwa mereka akan dibebaskan. Si “Aku” menyaksikan Pak Ahmad Darul Kutni meragukan kabar kebebasan itu; “…apa sebab mereka para pengawal tanpa kecuali berikut semua penunjangnya pegawai sipil mesti tertawa terbahak2? Apanya yang mesti jadi bahan tertawaan? (Hal.168)

Tidak ada revolusi. Reformasi pun tidak ada. Tidak ada pemberontakan. Tidak ada tirani yang terguling dan tirani baru seperti di Animal Farm. Cuma tirani yang sudah pergi tapi masih ada. Tirani yang mengubah penjara jadi hotel serta semua tahanan dan kucing2 disuruh pergi terserah mau ke mana. Kita ini semua sudah terlempar ke luar pagar oleh tiupan angin yang entah datangnya dari mana, kata Pak Ahmad Darul Kutni. 

Jadi inget sebuah negeri di mana kamu bisa tiba2 ditangkap, diadili dengan penuh komedi, ditahan, lalu tiba2 diberi amnesti atau abolisi. Di masa Mahbub masih jadi aktivis PMII di tahun 1960an, jutaan orang ditangkap dan dibunuh tanpa pengadilan. Yang hidup ditahan, disiksa, dikirim ke Pulau Buru, hingga tiba2 dikirim pulang ke rumahnya di akhir tahu 1970an. Persis seperti penjara tempat para tahanan dan kucing2 yang tiba2 jadi hotel. Bagaimana dengan para sipir penjara atau tiraninya? Mungkin juga lagi ikut merayakan kemerdekaan Indonesia Bersama dengan para mantan tahanannya, sambil joget2 diiringi lagu yang dorang tidak tahu judulnya.

Unknown's avatar

The Author

Sementara ini tinggal di Timika, Papua

Leave a comment